PENDIDIKAN INTELEKTUAL MENURUT
AS-SUNNAH
Oleh : NURHAYATI
A.
Mukaddimah
Manusia dibekali Allah SWT intelektual yang cerdas. Di
antaranya daya ingat yang tajam, sistematika dalam berpikir dan merumuskan
persoalan, menyikapi persoalan secara simpel dan lain sebagainya, seperti
kemampuan umat Islam menghafal Al Qur’an dan Hadits. Keistimewaan ini karena
kasih sayang Allah SWT pada orang-orang mukmin. Keimanan yang bersemayam dalam
dada mukmin menghantarkan mereka memiliki kecerdasan intelektual. Rasul SAW memberikan
indikator orang yang cerdas intelektualnya adalah Konsentrasi pada satu titik
yang jelas, berpikir cerdas sehingga tidak mudah tertipu dan selalu dalam
keadaan siap siaga. Kecerdasan intelektual juga akan memberikan jalan keluar
ketika menghadapi kondisi sulit.
Manusia itu mengalami
perkembangan, baik tubuh maupun kemampuan berpikirnya (kecerdasan
intelektualnya). Akal manusia berkembang dari tidak bisanya ia menalar menjadi
bisa ketika dewasa. Oleh karena itu, kecerdasan intelektual seseorang itu bisa
dipersiapkan dan dikembangkan. Kita harus melakukan pembinaan padanya sejak
kecil. Dalam Al-Qur'an dijelaskan bahwa akal manusia itu mengalami perkembangan
dari tidak sempurna menjadi sempurna.
"Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang
belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang
dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian
(dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. Dan
ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika
menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka
serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu Makan harta anak
yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya)
sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka
hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan Barangsiapa
yang miskin, Maka bolehlah ia Makan harta itu menurut yang patut. kemudian
apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan
saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai
Pengawas (atas persaksian itu).
Menurut para ahli,
otak manusia atau kecerdasan intelektualitas itu bisa diperbaiki, begitu pula
dengan kecerdasan emosi dan spiritual, bisa dibenahi hingga tua sekalipun.
Karena memang kemampuan akal dan potensi itu berkembang akibat pergaulan.[1]
Pernah Imam Syafi'i
ditanya: "Apakah kemampuan akal itu merupakan potensi yang dibawa sejak lahir?"
Jawabnya: "Tidak, tapi akal itu adalah hasil dari pergaulan dengan banyak
orang dan berdiskusi dengan mereka." Mengenai hal itu, Ibnu Sina pernah
menganjurkan kepada orang tua untuk memberikan pada anaknya teman bermain,
dengan perkataannya: "Hendaklah ada bersama anak-anak di mejanya anak-anak
lain yang baik adabnya dan diridhai adab kebiasaannya, karena anak dengan anak
itu saling mengerti, mengambil dan mengasihi." Di lain kesempatan, Imam
Syafi'i pernah menganjurkan kepada barang siapa yang ingin akalnya menjadi
jenius agar belajar matematika, dengan perkataannya: "Siapa yang
mempelajari matematika maka jeniuslah akalnya."[2]
Otak manusia tidak pernah berhenti tumbuh. Sepanjang usia manusia, sejauh ia
mengisi otaknya dengan informasi-informasi baru, maka otaknya tidak akan haus
dan rusak. Dan, ini senada dengan hadits Rasulullah SAW sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dalam
Nawadirnya: "Gerak, gairah dan
kekuatan berkumpul anak bersama teman-temannya yang lain pada masa kecilnya
akan memberikan tambahan pada akalnya ketika dewasa."[3]
Kecerdasan
intelektual merupakan konsep yang sangat penting dibahas dan perlu diterapkan
dalam sistem pendidikan Islam. Oleh karena itu, makalah ini akan membahas
tentang pendidikan intelektual menurut as-sunnah.
B.
Pengertian Pendidikan
dan Intelektual
1. Pendidikan
Konsep atau teori
pendidikan mengalami sebuah perdebatan hangat bagi para pakar atau ilmuwan. Peran
pendidikan yang semakin disadari pentingnya dalam melahirkan sebuah generasi
tidaklah cukup tanpa disertai oleh konsep yang benar. Apabila kita menerima teori ilmiah
empiris sebagai sebuah paradigma dalam teori pendidikan, maka disadari atau
tidak berarti kita telah meninggalkan hal-hal yang bersifat metafisis dalam
Al-Qur’an dan Hadits.[4] Metode ilmiah dalam membangun sebuah
teori harus dapat diamati oleh panca indera. Sebuah teori yang belum bisa
dibuktikan secara empiris tidak bisa dijadikan dasar dalam menyusun sebuah
teori termasuk didalamnya teori pendidikan. Padahal, Al-Qur’an yang diwahyukan
melalui Nabi Muhammad saw, dari masa ke masa selalu berkembang pembuktian
terhadap mukjizat Ilmiahnya, mulai dari masa lampau sampai masa yang akan
datang.
Untuk itu menjadi hal
yang sangat penting dan mendasar bagi para muslim untuk memahami konsep
pendidikan menurut Al-Qur’an dan Hadits. Konsep dasar yang perlu untuk dikaji
berawal dari definisi atau pengertian pendidikan yang disandarkan pada
Al-Qur’an dan Hadits. Ada
empat konsep dasar pendidikan Islam dalam perspektif hadits yakni tarbiyah,
ta’lim, ta’dib dan tadris yang akan
dibahas selanjutnya.
a. Hadits tentang tarbiyah
حَدَّثَنِي عَبْدُ
الْأَعْلَى بْنُ حَمَّادٍ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ
أَبِي رَافِعٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنَّ رَجُلًا زَارَ أَخًا لَهُ فِي قَرْيَةٍ أُخْرَى فَأَرْصَدَ
اللَّهُ لَهُ عَلَى مَدْرَجَتِهِ مَلَكًا فَلَمَّا أَتَى عَلَيْهِ قَالَ أَيْنَ
تُرِيدُ قَالَ أُرِيدُ أَخًا لِي فِي هَذِهِ الْقَرْيَةِ قَالَ هَلْ لَكَ عَلَيْهِ
مِنْ نِعْمَةٍ تَرُبُّهَا قَالَ لَا غَيْرَ أَنِّي أَحْبَبْتُهُ فِي اللَّهِ عَزَّ
وَجَلَّ قَالَ فَإِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكَ بِأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَبَّكَ
كَمَا أَحْبَبْتَهُ فِيهِ
قَالَ الشَّيْخُ أَبُو أَحْمَدَ أَخْبَرَنِي
أَبُو بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ زَنْجُويَةَ الْقُشَيْرِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ
الْأَعْلَى بْنُ حَمَّادٍ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ بِهَذَا الْإِسْنَادِ
نَحْوَهُ
Artinya:
“Telah menceritakan kepadaku 'Abdul A'laa
bin Hammad; Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Tsabit dari
Abu Rafi' dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, "Pada
suatu ketika ada seorang lelaki yang mengunjungi saudaranya di desa lain. Kemudian
Allah pun mengutus seorang malaikat untuk menemui orang tersebut. Ketika
orang itu ditengah perjalanannya ke desa yang dituju, maka malaikat tersebut
bertanya; 'Hendak pergi ke mana kamu? ' Orang itu menjawab; 'Saya akan
menjenguk saudara saya yang berada di desa lain.' Malaikat itu
terus bertanya kepadanya; 'Apakah kamu mempunyai satu perkara yang
menguntungkan dengannya? '
Laki-laki itu menjawab; 'Tidak, saya hanya mencintainya karena Allah Azza wa
Jalla.' Akhirnya malaikat itu berkata; 'Sesungguhnya aku ini
adalah malaikat utusan yang diutus untuk memberitahukan kepadamu bahwasanya
Allah akan senantiasa mencintaimu sebagaimana kamu mencintai saudaramu karena
Allah.' Berkata Syaikh Abu Ahmad; Telah mengabarkan kepadaku
Abu Bakr Muhammad bin Zanjuyah Al Qusyairi; Telah menceritakan kepada kami
'Abdul A'laa bin Hammad; Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah
melalui jalur ini dengan Hadits yang serupa”.[5]
b.
Hadits tentang ta’lim
حَدَّثَنَا
أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ
وَتَقَارَبَا فِي لَفْظِ الْحَدِيثِ قَالَا حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ
إِبْرَاهِيمَ عَنْ حَجَّاجٍ الصَّوَّافِ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ
هِلَالِ بْنِ أَبِي مَيْمُونَةَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ
الْحَكَمِ السُّلَمِيِّ قَالَ
بَيْنَا
أَنَا أُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ
عَطَسَ رَجُلٌ مِنْ الْقَوْمِ فَقُلْتُ يَرْحَمُكَ اللَّهُ فَرَمَانِي الْقَوْمُ
بِأَبْصَارِهِمْ فَقُلْتُ وَا ثُكْلَ أُمِّيَاهْ مَا شَأْنُكُمْ تَنْظُرُونَ
إِلَيَّ فَجَعَلُوا يَضْرِبُونَ بِأَيْدِيهِمْ عَلَى أَفْخَاذِهِمْ فَلَمَّا
رَأَيْتُهُمْ يُصَمِّتُونَنِي لَكِنِّي سَكَتُّ فَلَمَّا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبِأَبِي هُوَ وَأُمِّي مَا رَأَيْتُ
مُعَلِّمًا قَبْلَهُ وَلَا بَعْدَهُ أَحْسَنَ تَعْلِيمًا مِنْهُ فَوَاللَّهِ مَا
كَهَرَنِي وَلَا ضَرَبَنِي وَلَا شَتَمَنِي قَالَ إِنَّ هَذِهِ الصَّلَاةَ لَا
يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ
وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ أَوْ كَمَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي حَدِيثُ عَهْدٍ
بِجَاهِلِيَّةٍ وَقَدْ جَاءَ اللَّهُ بِالْإِسْلَامِ وَإِنَّ مِنَّا رِجَالًا
يَأْتُونَ الْكُهَّانَ قَالَ فَلَا تَأْتِهِمْ قَالَ وَمِنَّا رِجَالٌ
يَتَطَيَّرُونَ قَالَ ذَاكَ شَيْءٌ يَجِدُونَهُ فِي صُدُورِهِمْ فَلَا
يَصُدَّنَّهُمْ قَالَ ابْنُ الصَّبَّاحِ فَلَا يَصُدَّنَّكُمْ قَالَ قُلْتُ
وَمِنَّا رِجَالٌ يَخُطُّونَ قَالَ كَانَ نَبِيٌّ مِنْ الْأَنْبِيَاءِ يَخُطُّ
فَمَنْ وَافَقَ خَطَّهُ فَذَاكَ قَالَ وَكَانَتْ لِي جَارِيَةٌ تَرْعَى غَنَمًا
لِي قِبَلَ أُحُدٍ وَالْجَوَّانِيَّةِ فَاطَّلَعْتُ ذَاتَ يَوْمٍ فَإِذَا الذِّيبُ
قَدْ ذَهَبَ بِشَاةٍ مِنْ غَنَمِهَا وَأَنَا رَجُلٌ مِنْ بَنِي آدَمَ آسَفُ كَمَا
يَأْسَفُونَ لَكِنِّي صَكَكْتُهَا صَكَّةً فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَظَّمَ ذَلِكَ عَلَيَّ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ
أَفَلَا أُعْتِقُهَا قَالَ ائْتِنِي بِهَا فَأَتَيْتُهُ بِهَا فَقَالَ لَهَا
أَيْنَ اللَّهُ قَالَتْ فِي السَّمَاءِ قَالَ مَنْ أَنَا قَالَتْ أَنْتَ رَسُولُ
اللَّهِ قَالَ أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ
حَدَّثَنَا
إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا
الْأَوْزَاعِيُّ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ نَحْوَهُ
Artinya:
“Telah menceritakan kepada kami Abu Ja'far Muhammad bin ash-Shabbah dan Abu
Bakar bin Abi Syaibah dan keduanya berdekatan dalam lafazh hadits tersebut,
keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Ismail bin Ibrahim dari Hajjaj
ash-Shawwaf dari Yahya bin Abi Katsir dari Hilal bin Abi Maimunah dari 'Atha'
bin Yasar dari Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami dia berkata, "Ketika aku
sedang shalat bersama-sama Rasulullah shallallahu 'alaihiwasallam, tiba-tiba
ada seorang laki-laki dari suatu kaum bersin. Lalu aku mengucapkan, 'Yarhamukallah
(semoga Allah memberi Anda rahmat) '. Maka seluruh jamaah menujukan
pandangannya kepadaku." Aku berkata, "Aduh,
celakalah ibuku! Mengapa
Anda semua memelototiku?" Mereka bahkan menepukkan tangan mereka pada paha
mereka. Setelah
itu barulah aku tahu bahwa mereka menyuruhku diam. Tetapi aku telah diam. Tatkala Rasulullah
Shallallahu'alaihiwasallam selesai shalat, Ayah dan ibuku sebagai tebusanmu
(ungkapan sumpah Arab), aku belum pernah bertemu seorang pendidik sebelum dan
sesudahnya yang lebih baik pengajarannya daripada beliau. Demi
Allah! Beliau tidak menghardikku, tidak memukul dan tidak memakiku. Beliau
bersabda, 'Sesungguhnya shalat ini, tidak pantas di dalamnya ada percakapan
manusia, karena shalat itu hanyalah tasbih, takbir dan membaca al-Qur'an.' -Atau sebagaimana yang disabdakan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam, "Saya berkata, 'Wahai Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam, sesungguhnya aku dekat dengan masa jahiliyyah. Dan
sungguh Allah telah mendatangkan agama Islam, sedangkan di antara kita ada
beberapa laki-laki yang mendatangi dukun.' Beliau bersabda,
'Janganlah kamu mendatangi mereka.' Dia berkata, 'Dan
di antara kita ada beberapa laki-laki yang bertathayyur (berfirasat sial).' Beliau bersabda, 'Itu adalah rasa waswas yang mereka
dapatkan dalam dada mereka yang seringkali menghalangi mereka (untuk melakukan
sesuatu), maka janganlah menghalang-halangi mereka. -Ibnu Shabbah berkata dengan redaksi,
'Maka jangan menghalangi kalian-." Dia berkata,
"Aku berkata, 'Di antara kami adalah beberapa orang yang menuliskan garis
hidup.' Beliau menjawab, 'Dahulu salah seorang nabi
menuliskan garis hidup, maka barangsiapa yang bersesuaian garis hidupnya, maka
itulah (yang tepat, maksudnya seorang nabi boleh menggambarkan masa yang akan
datang, pent) '." Dia berkata lagi,
"Dahulu saya mempunyai budak wanita yang menggembala kambing di depan
gunung Uhud dan al-Jawwaniyah. Pada suatu hari aku memeriksanya,
ternyata seekor serigala telah membawa seekor kambing dari gembalaannya. Aku
adalah laki-laki biasa dari keturunan bani Adam yang bisa marah sebagaimana
mereka juga bisa marah. Tetapi
aku menamparnya sekali. Lalu aku mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam, dan beliau anggap tamparan itu adalah masalah besar. Aku
berkata, "(Untuk menebus kesalahanku), tidakkah lebih baik aku
memerdekakannya?' Beliau bersabda, 'Bawalah dia
kepadaku.' Lalu aku membawanya menghadap beliau. Lalu beliau bertanya, 'Di manakah
Allah? ' Budak itu menjawab, 'Di langit.' Beliau bertanya,
'Siapakah aku?' Dia menjawab, 'Kamu adalah utusan Allah.' Beliau bersabda, 'Bebaskanlah dia, karena dia
seorang wanita mukminah'." Telah
menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim telah mengabarkan kepada kami Isa
bin Yunus telah menceritakan kepada kami al-Auza'i dari Yahya bin Abi Katsir
dengan isnad ini hadits semisalnya”.[6]
c.
Hadits tentang ta’dib
حَدَّثَنِي
إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْمُنْذِرِ حَدَّثَنَا أَبُو ضَمْرَةَ حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ
عُقْبَةَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
أَنَّ
الْيَهُودَ جَاءُوا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَجُلٍ
مِنْهُمْ وَامْرَأَةٍ قَدْ زَنَيَا فَقَالَ لَهُمْ كَيْفَ تَفْعَلُونَ بِمَنْ
زَنَى مِنْكُمْ قَالُوا نُحَمِّمُهُمَا وَنَضْرِبُهُمَا فَقَالَ لَا تَجِدُونَ فِي
التَّوْرَاةِ الرَّجْمَ فَقَالُوا لَا نَجِدُ فِيهَا شَيْئًا فَقَالَ لَهُمْ
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَلَامٍ كَذَبْتُمْ فَأْتُوا بِالتَّوْرَاةِ فَاتْلُوهَا إِنْ
كُنْتُمْ صَادِقِينَ فَوَضَعَ مِدْرَاسُهَا الَّذِي يُدَرِّسُهَا مِنْهُمْ كَفَّهُ
عَلَى آيَةِ الرَّجْمِ فَطَفِقَ يَقْرَأُ مَا دُونَ يَدِهِ وَمَا وَرَاءَهَا وَلَا
يَقْرَأُ آيَةَ الرَّجْمِ فَنَزَعَ يَدَهُ عَنْ آيَةِ الرَّجْمِ فَقَالَ مَا
هَذِهِ فَلَمَّا رَأَوْا ذَلِكَ قَالُوا هِيَ آيَةُ الرَّجْمِ فَأَمَرَ بِهِمَا
فَرُجِمَا قَرِيبًا مِنْ حَيْثُ مَوْضِعُ الْجَنَائِزِ عِنْدَ الْمَسْجِدِ
فَرَأَيْتُ صَاحِبَهَا يَحْنِي عَلَيْهَا يَقِيهَا الْحِجَارَةَ
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Abu Ja'far Muhammad bin ash-Shabbah dan
Abu Bakar bin Abi Syaibah dan keduanya berdekatan dalam lafazh hadits tersebut,
keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Ismail bin Ibrahim dari Hajjaj
ash-Shawwaf dari Yahya bin Abi Katsir dari Hilal bin Abi Maimunah dari 'Atha'
bin Yasar dari Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami dia berkata, "Ketika aku
sedang shalat bersama-sama Rasulullah shallallahu 'alaihiwasallam, tiba-tiba
ada seorang laki-laki dari suatu kaum bersin. Lalu aku mengucapkan, 'Yarhamukallah
(semoga Allah memberi Anda rahmat) '. Maka seluruh jamaah menujukan
pandangannya kepadaku." Aku berkata, "Aduh,
celakalah ibuku! Mengapa
Anda semua memelototiku?" Mereka bahkan menepukkan tangan mereka pada paha
mereka. Setelah
itu barulah aku tahu bahwa mereka menyuruhku diam. Tetapi aku telah diam. Tatkala
Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam selesai shalat, Ayah dan ibuku sebagai
tebusanmu (ungkapan sumpah Arab), aku belum pernah bertemu seorang pendidik
sebelum dan sesudahnya yang lebih baik pengajarannya daripada beliau. Demi
Allah! Beliau tidak menghardikku, tidak memukul dan tidak memakiku. Beliau
bersabda, 'Sesungguhnya shalat ini, tidak pantas di dalamnya ada percakapan
manusia, karena shalat itu hanyalah tasbih, takbir dan membaca al-Qur'an.' -Atau sebagaimana yang disabdakan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam, "Saya berkata, 'Wahai Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam, sesungguhnya aku dekat dengan masa jahiliyyah. Dan
sungguh Allah telah mendatangkan agama Islam, sedangkan di antara kita ada
beberapa laki-laki yang mendatangi dukun.' Beliau bersabda,
'Janganlah kamu mendatangi mereka.' Dia berkata, 'Dan
di antara kita ada beberapa laki-laki yang bertathayyur (berfirasat sial).' Beliau bersabda, 'Itu adalah rasa waswas yang mereka
dapatkan dalam dada mereka yang seringkali menghalangi mereka (untuk melakukan
sesuatu), maka janganlah menghalang-halangi mereka. -Ibnu Shabbah berkata dengan redaksi,
'Maka jangan menghalangi kalian-." Dia berkata,
"Aku berkata, 'Di antara kami adalah beberapa orang yang menuliskan garis
hidup.' Beliau menjawab, 'Dahulu salah seorang nabi
menuliskan garis hidup, maka barangsiapa yang bersesuaian garis hidupnya, maka
itulah (yang tepat, maksudnya seorang nabi boleh menggambarkan masa yang akan
datang, pent) '." Dia berkata lagi,
"Dahulu saya mempunyai budak wanita yang menggembala kambing di depan
gunung Uhud dan al-Jawwaniyah. Pada suatu hari aku memeriksanya,
ternyata seekor serigala telah membawa seekor kambing dari gembalaannya. Aku
adalah laki-laki biasa dari keturunan bani Adam yang bisa marah sebagaimana
mereka juga bisa marah. Tetapi
aku menamparnya sekali. Lalu aku mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam, dan beliau anggap tamparan itu adalah masalah besar. Aku
berkata, "(Untuk menebus kesalahanku), tidakkah lebih baik aku
memerdekakannya?' Beliau bersabda, 'Bawalah dia
kepadaku.' Lalu aku membawanya menghadap beliau. Lalu beliau bertanya, 'Di manakah
Allah? ' Budak itu menjawab, 'Di langit.' Beliau bertanya,
'Siapakah aku?' Dia menjawab, 'Kamu adalah utusan Allah.' Beliau bersabda, 'Bebaskanlah dia, karena dia
seorang wanita mukminah'." Telah
menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim telah mengabarkan kepada kami Isa
bin Yunus telah menceritakan kepada kami al-Auza'i dari Yahya bin Abi Katsir
dengan isnad ini hadits semisalnya”.[7]
d.
Hadits tentang tadris
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ صَالِحٍ عَنْ الشَّعْبِيِّ
عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
قَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّمَا رَجُلٍ كَانَتْ لَهُ جَارِيَةٌ
فَأَدَّبَهَا فَأَحْسَنَ تَأْدِيبَهَا وَأَعْتَقَهَا وَتَزَوَّجَهَا فَلَهُ
أَجْرَانِ وَأَيُّمَا عَبْدٍ أَدَّى حَقَّ اللَّهِ وَحَقَّ مَوَالِيهِ فَلَهُ
أَجْرَانِ
Artinya: “Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsir telah mengabarkan kepada kami
Sufyan dari Shalih dari Asy-Sya'biy dari Abu Burdah dari Abu Musa Al Asy'ariy
radliallahu 'anhu berkata, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Siapa saja dari seseorang yang memiliki seorang budak wanita lalu
mendididiknya dengan sebaik-baik pendidikan, kemudian dibebaskannya lalu
dinikahinya maka baginya mendapat dua pahala, dan siapa saja dari seorang hamba
yang menunaikan hak Allah dan hak tuannya maka baginya mendapat dua pahala”.[8]
Penjelasan tarbiyah
Kata tarbiyah adalah
bentuk masdar dari fi’il madhi rabba, yang mempunyai pengertian yang sama dengan kata
‘rabb’ yang
berarti nama Allah. Dalam hadits tidak ditemukan kata tarbiyah, tetapi ada
istilah yang senada dengan itu yaitu; ar-rabb, rabbayani, murabbi, rabbiyun, rabbani. Sebaiknya
dalam hadis digunakan istilah rabbani. Semua fonem tersebut mempunyai
konotasi makna yang berbeda-beda.[9]
Beberapa ahli tafsir berbeda pendapat dalam
mengartikan kata-kata di atas. Sebagaimana
dikutip dari Ahmad Tafsir bahwa
pendidikan merupakan arti dari kata tarbiyah kata tersebut berasal dari
tiga kata yaitu; rabba-yarbu yang bertambah, tumbuh, dan ‘rabbiya- yarbaa’ berarti
menjadi besar, serta ‘rabba-yarubbu’ yang berarti memperbaiki, menguasai
urusan, menuntun, menjaga, memelihara.[10]
Dalam literatur-literatur berbahasa Arab kata
Tarbiyah mempunyai bermacam macam definisi yang intinya sama mengacu pada
proses pengembangan potensi yang dianugrahkan pada manusia. Definisi-definisi
itu antara lain sebagai berikut:
a.
Tarbiyah adalah proses pengembangan dan
bimbingan jasad, akal dan jiwa yang dilakukan secara berkelanjutan sehingga
mutarabbi (anak didik) bisa dewasa dan mandiri untuk hidup di tengah masyarakat.[11]
b.
Tarbiyah adalah kegiatan yang disertai
dengan penuh kasih sayang, kelembutan hati, perhatian bijak dan menyenangkan;
tidak membosankan.[12]
c.
Tarbiyah adalah proses yang dilakukan
dengan pengaturan yang bijak dan dilaksanakan secara bertahap dari yang mudah
kepada yang sulit.[13]
d.
Tarbiyah adalah mendidik anak melalui
penyampaian ilmu, menggunakan metode yang mudah diterima sehingga ia dapat
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.[14]
e.
Tarbiyah adalah kegiatan yang mencakup
pengembangan, pemeliharaan, penjagaan, pengurusan, penyampaian ilmu, pemberian
petunjuk, bimbingan, penyempurnaan dan perasaan memiliki terhadap anak
didik.[15]
Para ahli memberikan definisi tarbiyah, bila
diidentikkan dengan ‘arrab’ sebagai berikut;
1.
Menurut al-Qurtubi, bahwa; arti ar-rabb adalah pemilik, tuan,
maha memperbaiki, yang maha pengatur, yang maha mengubah, dan yang maha
menunaikan.[16]
2.
Menurut Louis al-Ma’luf, ar-rabb berarti tuan, pemilik,
memperbaiki, perawatan, tambah dan mengumpulkan.[17]
3.
Menurut Fahrur Razi, ar-rabb merupakan fonem yang seakar dengan al-tarbiyah, yang
mempunyai arti at-tanwiyah yang
berarti (pertumbuhan dan perkembangan).[18]
4.
Al-Jauhari yang dikutip oleh al-Abrasy
memberi arti kata tarbiyah dengan rabban dan rabba dengan
memberi makan, memelihara dan mengasuh.[19]
Dari pandangan beberapa pakar tafsir ini maka
kata dasar ar-rabb, yang mempunyai arti yang luas antara lain;
memiliki, menguasai, mengatur, memelihara, memberi makan, menumbuhkan,
mengembangkan dan berarti pula mendidik.
Konsep tarbiyah merupakan
salah satu konsep pendidikan Islam yang penting.Kosakata yang ada
dalam hadits baik dalam bentuk fi’il maupun dalam bentuk isim. Kata-kata
tersebut adalah sebagai berikut[20]:
1. Rabba,
yarbu,
artinya tumbuh, bertambah, berkembang.
2. Rabbi,
yarba, artinya tumbuh menjadi
lebih besar, menjadi lebih dewasa.
3.
Rabba, yarubbu, artinya memperbaiki, mengatur, mengurus,
mendidik.
Menurut
Al-Attas, secara semantik istilah tarbiyah tidak
tepat dan tidak memadai untuk membawakan konsep pendidikan dalam pengertian
Islam, sebagaimana dipaparkan:[21]
1. Istilah tarbiyah yang dipahami dalam pengertian
pendidikan sebagaimana dipergunakan di masa kini tidak bisa ditemukan dalam
leksikon-leksikon bahasa Arab besar.
2.
Tarbiyah dipandang sebagai pendidikan, dikembangkan dari penggunaan
Al Qur’an dengan istilah raba dan rabba yang berarti sama, tidak secara alami
mengandung unsur-unsur esensial pengetahuan, intelegensi dan kebajikan yang
pada hakikatnya merupakan unsur-unsur pendidikan yang sebenarnya.
3.
Jika sekiranya dikatakan bahwa suatu
makna yang berhubungan dengan pengetahuan disusupkan ke dalam konsep rabba, maka makna
tersebut mengacu pada pemilikan pengetahuan dan bukan penanamannya.
Penjelasan tentang
ta’lim
Perkataan ta’lim dipetik dari kata dasar ‘allama (عَلَّمَ), yu‘allimu يُعَلِّمُ)) dan ta’lim (تَعْلِيْم). Yu‘allimu diartikan
dengan mengajarkan, untuk itu istilah ta’limditerjemahkan dengan
pengajaran (instruction). M. Thalib mengatakan bahwata’lim memiliki
arti memberitahukan sesuatu kepada seseorang yang belum tahu.[22]
Istilah Mu’allim atau pengajar yang berarti
orang yang melakukan pengajaran, juga di munculkan dalam hadith,[23] Nabi Muhammad SAW. Bersabda:
اعملوا بطاعة الله
واتقوا معاصى الله ومروا اولادكم بامتثا الاوامر واجتناب النواهى فذالك وقاية لهم
ولكم من النّار
Artinya: “Ajarkanlah
mereka untuk ta’at kepada Allah dan takut berbuat maksiat kepada Allah serta
suruhlah anak-anak kamu untuk menaati perintah-perintah dan menjauhi
larangan-larangan. Karena itu akan memelihara mereka dan kamu dari
api neraka.”
Dalam hal ini ungkapan (اعملو) diberikan kepada orang
tua yang berlaku sebagai mu’allim sedangkan pelajarnya (muta’allim) atau
yang diajari adalah anak-anaknya. Juga sabda beliau:
خيركم من تعلّم القرأن و علّمه
Artinya:“Sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari Al
Qur’an dan mengajarkannya.”
Dalam hadith ini secara lengkap disebutkan ungkapan ta’alim (تعلّم), sedangkan ilmu yang dipelajari adalah
Al-Qur’an serta disebutkan pihak yang mengajarkannya.
Ta’lim secara umum hanya terbatas pada
pengajaran dan pendidikan kognitif semata-mata. Hal ini memberikan
pemahaman bahwa ta’lim hanya mengedepankan proses pengalihan ilmu
pengetahuan dari pengajar (mu’alim) dan yang diajar (muta’alim). Ta’lim juga
mewakili ungkapan proses dari tidak tahu menjadi tahu. Dari perkataan
Sa’ad bin Waqash, memberi makna anak-anak yang tidak tahu tentang riwayat
Rasulullah, diajarkan sehingga menjadi tahu.
Namun, istilah ta’lim dari beberapa ayat diatas
menunjukkan bahwa ilmu yang bisa untuk dialihkan meliputi semua ilmu termasuk
diantaranya sihir. Sehingga memang istilah tersebut lebih dekat
pada pengajaran bukan pendidikan, karena pendidikan dalam pengertian Islam
tentu saja harus mengarah pada manusia yang lebih baik, sesuai peran dan
fungsinya didunia ini.
Apabila pendidikan Islam diidentikkan dengan ta’lim,
para ahli memberikan pengertian sebagai berikut;
1. Abdul Fattah Jalal, mendefinisikan ta’lim sebagai
proses pemberian pengetahuan, pemahaman, pengertian, tanggung jawab, dan
penanaman amanah, sehingga penyucian atau pembersihan manusia dari segala
kotoran dan menjadikan diri manusia berada dalam kondisi yang memungkinkan
untuk menerima al-hikmah serta mempelajari apa yang bermanfaat baginya dan yang
tidak diketahuinya. Ta’lim menyangkut aspek pengetahuan dan
keterampilan yang dibutuhkan seseorang dalam hidup serta pedoman prilaku yang
baik.Ta’lim merupakan proses yang terus menerus diusahakan
semenjak dilahirkan, sebab menusia dilahirkan tidak mengetahui apa-apa, tetapi
dia dibekali dengan berbagai potensi yang mempersiapkannya untuk meraih dan
memahami ilmu pengetahuan serta memanfaatkanya dalam kehidupan.[24]
2. Menurut Rasyid Ridho, ta’lim adalah proses
transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan
ketentuan tertentu .Definisi ini berpijak pada firman Allah yang
berbunyi:
وَعَلَّمَ ءَادَمَ الأَسْمَآءَ
كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلاَئِكَةِ فَقَالَ أَنبِئُونِي بِأَسْمَآءِ
هَؤُلآءِ إِن كُنتُم صَادِقِينَ
Artinya : “Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama
(benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu
berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang
benar orang-orang yang benar!" (QS. Al-Baqarah:
31.)
Rasyid Ridho memahami kata ‘allama’ Allah kepada
Nabi Adam as, sebagai proses tranmisi yang dilakukan secara bertahap
sebagaimana Adam menyaksikan dan menganalisis asma-asma yang diajarkan Allah
kepadanya.Dari penjelasan ini disimpulkan bahwa pengertian ta’lim lebih
luas atau lebih umum sifatnya daripada istilah tarbiyah yang khusus berlaku
pada anak-anak.Hal ini karena ta’lim mencakup fase
bayi, anak-anak, remaja, dan orang dewasa, sedangkan tarbiyah, khusus
pendidikan dan pengajaran fase bayi dan anak-anak.[25]
3. Syed Muhammad an-Naquib al-Attas, mengartikan ta’lim disinonimkan
dengan pengajaran tanpa adanya pengenalan secara mendasar, namun bilata’lim disinonimkan
dengan tarbiyah, ta’lim mempunyai arti pengenalan tempat
segala sesuatu dalam sebuah sistem.[26] Menurutnya
ada hal yang membedakan antara tarbiyah dengan ta’lim, yaitu ruang
lingkup ta’lim lebih umum daripada tarbiyah, karena tarbiyah
tidak mencakup segi pengetahuan dan hanya mengacu pada kondisi eksistensial dan
juga tarbiyah merupakan terjemahan dari bahasa latin education,
yang keduanya mengacu kepada segala sesuatu yang bersifat fisik-mental, tetapi
sumbernya bukan dari wahyu.
4.
Menurut
Muhammad Athiyah al-Abrasy, pengertian ta’lim berbeda dengan
pendapat di atas, beliau mengatakan bahwa; ta’lim lebih khusus
dibandingkan dengan tarbiyah, karena ta’lim hanya merupakan
upaya menyiapkan individu dengan mengacu pada aspek-aspek tertentu saja,
sedangkan tarbiyah mencakup keseluruhan aspek-aspek pendidikan.[27]
Penjelasan tentang
ta’dib
Menurut Naquib al-Attas
pengunaan ta’dib lebih
cocok untuk digunakan dalam pendidikan Islam, konsep inilah yang diajarkan oleh
Rasul. Ta’dib berarti
pengenalan, pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia
tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu dalam tatanan penciptaan
sedimikian rupa, sehingga membimbing kearah pengenalan dan pengakuan kekuasaan
dan keagungan Tuhan dalam tatanan wujud dan keberadaanya. Kata ‘addaba yang
juga berarti mendidik dan kata ta’dib yang
berarti pendidikan adalah diambil dari hadits Nabi “Tuhanku telah mendidikku
dan dengan demikian menjadikan pendidikanku yang terbaik”.[28]
Konsep ta’dib yang digagas al-Attas
adalah konsep pendidikan Islam yang bertujuan menciptakan manusia beradab dalam
arti yang komprehensif.Pengertian konsep ini dibangun
dari makna kata dasar adaba dan
derivasinya. Makna addaba dan derivasinya, bila maknanya
dikaitkan satu sama lain, akan menunjukkan pengertian pendidikan yang
integratif.[29] Di antara makna-makna tersebut adalah,
kesopanan, keramahan, dan kehalusan budi pekerti. Makna ini identik
dengan akhlak. Adab
juga secara konsisten dikaitkan dengan dunia sastra, yakni adab dijelaskan
sebagai pengetahuan tentang hal-hal yang indah yang mencegah dari
kesalahan-kesalahan.[30]
Sehingga seorang sastrawan disebut adiib. Makna ini hampir sama dengan
definisi yang diberikan al-Jurjani, yakni ta’dib adalah
proses memperoleh ilmu pengetahuan (ma’rifah) yang
dipelajari untuk mencegah pelajar dari bentuk kesalahan.[31]
Kata ta’dib adalah mashdar dari addaba yang
sebenarnya secara konsisten bermakna mendidik. Berkenaan dengan hal itu,
seorang guru yang mengajarkan etika dan kepribadian tersebut disebut juga mu’addib.[32] Setidaknya ada tiga derivasi dari kata addaba, yakni adiib, ta’dib, muaddib. Dari
gambaran tersebut dapat dikatakan, keempat makna itu saling terikat dan
berkaitan. Seorang
pendidik(muaddib), adalah orang yang mengajarkan etika,
kesopanan, pengembangan diri atau suatu ilmu (ma’rifah) agar anak
didiknya terhindar dari kesalahan ilmu, menjadi manusia yang sempurna (insan kamil) sebagaimana dicontohkan dalam pribadi
Rasulullah SAW.
Berdasarkan
hal itu, al-Attas mendefinisikan adab dari analisis semantiknya, yakni, adab
adalah pengenalan dan pengakuan terhadap realita bahwasannya ilmu dan segala
sesuatu yang ada terdiri dari hirearki yang sesuai dengan kategori-kategori dan
tingkatan-tingkatannya, dan bahwa seseorang itu memiliki tempatnya
masing-masing dalam kaitannya dengan realitas, kapasitas, potensi fisik,
intelektual dan spiritual.[33] Dalam hal ini, al-Attas memberi makna
adab secara lebih dalam dan komprehensif yang berkaitan dengan objek-objek
tertentu yaitu pribadi manusia, ilmu, bahasa, sosial, alam dan Tuhan.[34] Beradab, adalah menerapkan adab kepada
masing-masing objek tersebut dengan benar, sesuai aturan.
Pada dasarnya, konsep adab al-Attas ini
adalah memperlakukan objek-objek tersebut sesuai dengan aturan, wajar dan
tujuan terakhirnya adalah kedekatan spiritual kepada Tuhan. Berkenaan
dengan hal ini, maka adab juga dikaitkan dengan syari’at dan Tauhid. Orang
yang tidak beradab adalah orang yang tidak menjalankan syari’at dan tidak
beriman (dengan sempurna).[35] Maka orang beradab menurut al-Attas
adalah orang yang baik yaitu orang yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab
dirinya kepada Tuhan Yang Hak, memahami dan menunaikan keadilan terhadap
dirinya dan orang lain dalam masyarakat, berupaya meningkatkan setiap aspek
dalam dirinya menuju kesempurnaan sebagai manusia yang beradab.[36]
Dari uraian singkat
tersebut, bisa dikatakan bahwa makna beradab secara sederhana adalah, tidak
berbuat dzalim. Maksudnya,
orang beradab adalah orang yang menggunakan epistemologi ilmu dengan benar,
menerapkan keilmuan kepada objeknya secara adil, dan mampu mengidentifikasi dan
memilah pengetahuan-pengetahuan (ma’rifah) yang salah. Setelah
itu, metode untuk mencapai pengetahuan itu harus juga benar sesuai kaidah Islam. Sehingga, seorang yang beradab (insan adabi) mengerti tanggung jawabnya sebagai jiwa
yang pernah mengikat janji dalam Primordial Covenant dengan
Allah SWT sebagai jiwa bertauhid. Apapun profesi
manusia beradab, ikatan janji itu selalu ia aplikasikan dalam setiap aktifitasnya.[37] Oleh sebab itu, istilah yang paling
tepat untuk pendidikan Islam menurut al-Attas adalah ta’dib bukan tarbiyah atau ta’lim. Term tarbiyah tidak
menunjukkan kesesuaian makna, ia hanya menyinggung aspek fisikal dan emosional
manusia. Term
tarbiyah juga diapakai untuk mengajari hewan. Sedangkan ta’lim secara umum hanya terbatas pada pengajaran dan
pendidikan kognitif. Akan
tetapi ta’dib sudah menyangkut ta’lim (pengajaran)
di dalamnya.[38] Singkatnya, konsep ta’dib mengandung makna yang lebih komprehensif
dan integratif daripada tarbiyah.
Konsep ta’dib adalah
konsep pendidikan Islam yang komprehensif, karena aspek-aspek ilmu dan proses
pencapainya mesti dicapai dengan pendekatanatawhidy dan objek-objeknya
diteropong dengan pandangan hidup Islami (worldview Islam).[39]
Pendekatan tawhidy adalah
pendekatan yang tidak dikotomis[40] dalam
melihat realitas. Menurut
al-Attas, pendidikan Islam bukanlah seperti pelatihan yang akan menghasilkan
spesialis. Melainkan
proses yang akan menghasilkan individu baik (insan adabi), yang
akan menguasai pelbagai bidang studi secara integral dan koheren yang
mencerminkan padandangan hidup Islam.[41]
Dapat disimpulkan, konsep ta’dib adalah konsep pendidikan
yang bertujuan menghasilkan individu beradab, yang mampu melihat segala
persoalan dengan teropong worldview Islam. Mengintegrasikan
ilmu-ilmu sains dan humaniora dangan ilmu syari’ah. Sehingga apapun profesi dan
keahliannya, syar’iah danworldview Islam tetap merasuk dalam dirinya
sebagai parameter utama. Individu-individu
yang demikian ini adalah manusia pembentuk peradaban Islam yang bermartabat. Dalam
tataran praktis, konsep ini memerlukan proses Islamisasi ilmu pengetahuan
terlebih dahulu. Karena,
untuk mencapai tujuan utama konsep pendidikan ini, ilmu-ilmu tidak hanya perlu
diintegrasikan akan tetapi, ilmu yang berparadigma sekuler harus diIslamkan
basis filosofisnya.
Penjelasan tentang tadris
Tadris adalah upaya
menyiapkan murid (mutadarris) agar dapat membaca, mempelajari dan mengkaji
sendiri, yang dilakukan dengan cara mudarris membacakan, menyebutkan
berulang-ulang dan bergiliran, menjelaskan, mengungkap dan mendiskusikan makna
yang terkandung di dalamnya sehingga mutadarris mengetahui, mengingat,
memahami, serta mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari dengan tujuan
mencari ridla Allah (definisi secara luas dan formal).[42]
Makna tadris (pengajaran bacaan secara
berulang-ulang):[43]
1.
Tadris adalah suatu bentuk
kegiaatan yang dilakukan oleh mudarris untuk
membacakan dan menyebutkan sesuatu kepada mutadarris (murid)
dengan berulang-ulang dan sering.
2. Tadris bertujuan
agar materi yang dibacakan atau yang disampaikan itu mudah dihafal dan diingat. Ia
merupakan kegiatan pewarisan kepada murid dari para leluhurnya.
3. Kegiatan dalam tadris tidak sekedar membacakan atau menyebutkan
materi, tetapi juga disertai dengan mempelajari, mengungkap, menjelaskan, dan
mendiskusikan isi dan maknanya.
4. Tadris adalah
suatu upaya menjadikan dan membelajarkan murid (mutadarris) supaya
mau membaca, mempalajari, dan mengkaji sendiri.
5. Dalam tadris, seorang murid (mutadarris)
diharapkan mengetahui dan memahami benar yang disampaikan oleh mudarris (guru) serta dapat
mengamalkannya di dalam kehidupan sehari-hari.
6. Tadris dilakukan
dengan niat beribadah kepada Allah SWT dan mendapat ridla-Nya.
7. Kegiatan belajar dalam tadris bisa
berlangsung dengan cara saling bergantian atau bergiliran, yaitu sebagian
membacakan sebagian lainnya memperhatikan dengan saling mengorerksi,
membenarkan kesalahan lafal yang dibaca sehingga terhindar dari kekeliruan dan
lupa.
8. Tadris menunjukan
kegiatan yang terjadi pada diri manusia dalam arti yang umum.
Dalam tadris tersirat
adanya mudarris. Mudarris berasal
dari kata darasa-yadrusu-darsan-wadurusan-wadirasatan yang artinya terhapus, hilang
bekasnya, menghapus, melatih, dan mempelajari.[44] Artinya guru adalah orang yang
berusaha mencerdaskan peserta didiknya, menghilangkan ketidaktahuan atau
memberantas kebodohan, serta melatih keterampilan peserta didik sesuai bakat
dan minatnya.
Mudarris adalah orang yang
memiliki kepekaan intelektual dan informasi serta memperbaharui pengetahuan dan
keahliannya secara berkelanjutan, dan berusa mencerdaskan peserta didiknya,
memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan, sesuai dengan bakat,
minat, dan kemampuannya.[45]
Berdasarkan hal di atas,
tugas-tugas guru atau pendidik sangatlah berat, yang tidak hanya melibatkan
kemampuan kognitif, tetapi juga kemampuan afektif dan psikomotorik. Profesionalisme
pendidik sangat ditentukan oleh seberapa banyak tugas yang telah dilakukan,
sekalipun terkadang profesionalismenya itu tidak berimplikasi yang signifikan
terhadap penghargaan yang diperolehnya. [46]
Al-Ghazali menukil dari
perkataan para ulama yang menyatakan bahwa pendidik merupakan pelita segala
zaman, orang yang hidup semasa dengannya akan memperoleh pancaran nur
keilmiahannya (‘Atha). Dan
andaikala dunia tidak ada pendidik niscaya manusia seperti binatang sebab
“Pendidik adalah upaya mengeluarkan manusia dari sifat kebinatangan kepada
sifat insaniyah.”[47]
Peran dan tanggung jawab
guru dalam proses pendidikan sangat berat. Apalagi dalm konteks pendidikan Islam,
dimana semua aspek kependidikan Islam terkait dengan nilai-nilai (value bound), yang meliputi guru bukan saja pada
penguasaan material-pengetahuan, tetapi juga pada investasi nilai-nilai moral
dan spiritual yang diembannya untuk ditransformasikan kearah pembentukan
kepribadian anak didik. Sebagai
komponen paling pokok dalam pendidikan Islam, guru dituntut bagaimana
membimbing, melatih, dan membiasakan anak didik berperilaku yang baik. Karena
itu, eksistensi guru tidak saja mengajarkan tetapi sekaligus mempraktikkan
ajaran-ajaran dan nilai-nilai kependidikan Islam.[48]
Dengan pemaparan keempat konsep di atas, berdasarkan
kepada hadits dapat ditarik kesimpulan bahwa keempatnya mempunyai satu tujuan
dalam dunia pendidikan yaitu menghantarkan anak didik menjadi yang “seutuhnya”,
sehingga mampu mengarungi kehidupan ini baik sekarang maupun yang akan datang
dengan baik.
2. Intelektual
Kecerdasan intelektual merupakan konsep yang sangat penting dibahas dan
perlu diterapkan dalam sistem pendidikan Islam. Oleh karena itu, perumusan konsep dan
strategi penerapannya mesti dilakukan dalam sistem pendidikan Islam guna
menumbuhkan kecerdasan intelektual anak didik.
Untuk memahami tentang intelektual maka
di bawah ini akan dipaparkan hadits tentang intelektual, yaitu:
من يريد الله به خيرا يفهِّمه
,وإنما العلم بالتعلَم
"Barang siapa yang akan diberikan kebaikan oleh Allah
maka ia akan diberikan pemahaman, cara untuk mendapatkan ilmu adalah dengan
belajar."[49]
لا حسدَ إلا في اثنتين رجل آتاه الله مالا فسلّط على هلكته في الحق ورجل آتاه الله الحكمة فهو يقضي بها ويعلّمها
"Tidak boleh hasad (iri) kecuali dalam dua perkara,
seorang yang diberikan Allah kepadanya harta dan ia menggunakannya untuk
menegakkan kebenaran, dan seseorang yang diberikan Allah kepadanya hikmah (ilmu
pengetahuan yang luas) dan ia menerapkan ilmu tersebut dalam kehidupannya dan
mengajarkannya kepada orang lain."
Definisi intelektual berdasrkan hadits di atas,[50]
Intelektual merupakan suatu kumpulan kemampuan seseorang untuk memperoleh ilmu
pengetahuan dan mengamalkannya dalam hubungannya dengan lingkungan dan
masalah-masalah yang timbul (Gunarsa, 1991).
Dengan
kata lain, Intelektual seseorang tak lepas dari akal dan otak manusia yang
saling berkaitan dan diasumsikan tempatnya di kepala.
Namun, menurut Harun Nasution, akal tidak persis sama dengan pengertian
"otak", karena kalau otak, dalam artian fisik, maka hewan-hewan pun
mempunyai otak. Akal merujuk pada daya nalar, daya pikir, dan daya kritis yang
terdapat dalam jiwa manusia. Raghib al-Asfahani memberi pengertian akal sebagai
energi potensial yang difungsikan manusia untuk menerima pengetahuan dan ilmu.[51]
C.
PENDIDIKAN INTELEKTUAL
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pendidikan
intelektual seseorang, diantaranya yaitu:
1.
Menanamkan kecintaan kepada ilmu dan adab-adabnya.
Menanamkan cinta ilmu dan
memberi motivasi untuk belajar sejak
kecil kepada anak-anak merupakan suatu keharusan bagi orang tua, karena
menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap muslim, tua maupun muda,
laki-laki maupun perempuan. Menuntut ilmu juga merupakan ibadah yang dapat
dijadikan sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Islam sangat memperhatikan ilmu pengetahuan karena dengan ilmu manusia bisa
berkarya dan berprestasi, dengan ilmu ibadah seseorang menjadi sempurna.
عن
على كرمالله
وجهه, ان
النبى صلى
الله عليه
وسلم قل
: أدبوا أولادكم على
ثلاث خصال,
حب نبيكم
وحب البيته,
وتلاوة القرأن
وإن حملة
القرأن فى
ظل عرش
الله لا
ظل إلا
ظله مع أن
بيائه واصغيائه
( رواه طبرنى)
Artinya : Dari Ali karromallahu
wajhah,bahwa sesungguhnya nabi Muhammad SAW berkata : Didiklah anak-anak kalian
semua dengan tiga perangai : Cinta Nabi kalian, Cinta keluarga nabi, dan
Membaca AlQur’an, maka sesungguhnya orang yang belajar AlQur’an berada dalam
perlindungan Allah, Pada hari yang tiada pertolongan selain pertolongan Allah
beserta para nabiNYA dan kekasihNYA. (H.R Ath Thobroni)[52]
Berdasarkan hadits di atas rosulullah SAW
memerintahkan untuk mendidik anak-anaknya dengan tiga perangai :
1.
Cinta terhadap Nabinya, karena cinta terhadap
Nabi adalah lebih utama dari pada cinta terhadap kedua orang tuanya bahkan
terhadap dirinya sendiri,
2.
Cinta kepada keluarga
Nabi, karena barang siapa cinta kepada seseorang maka ia akan cinta kepada apa
yang dicintai oleh seseorang tersebut dan keturunanya.
3.
Memberikan pengajaran Al-Qur’an terhadap
anak, belajar Al-Qur’an dan mengamalkanya adalah yang paling penting dan utama,
karena dengan Al-Qur’an manusia menjadi umat yang paling mulya
Setelah anak-anak ini
mendapatkan ilmu, perlu pula menerangkan adab-adab dari memiliki ilmu agar anak
tersebut apabila menjadi pembesar tidak keluar dari kaidah-kaidah Islam dan
berada di jalur yang benar. Sebagaimana Luqman berkata kepada anaknya : “Wahai anakku, masih ada sesuatu yang lain.
Banyak bergaulah dengan para ulama, sesungguhnya Allah akan menghidupkan hati
yang mati dengan hikmah sebagaimana ia menghidupkan (menyuburkan) tanah yang
mati dengan air dari langit. Wahai anakku, janganlah engkau mempelajari ilmu
karena tiga hal dan janganlah meninggalkan karena tiga hal. Janganlah engkau
mempelajarinya untuk berdebat, untuk menyombongkan diri dan untuk berbuat
riya’, jangalah pula meninggalkan ilmu karena malas, karena malu kepada
manusia, dan karena puas (menerima) kebodohan. Wahai anakku janganlah engkau
mendebat para ulama dan janganlah meremehkannya sehingga merekapun akan
menolakmu. Jangan pula mendebat orang-orang bodoh sehingga mereka akan
membodohimu dan dan mencacimaki dirimu. Tapi sabarkanlah dirimu dalam
menghadapi orang yang di atasmu dan kepada orang yang di bawahmu. Sesungguhnya
hanya orang yang bersabar kepad ulamayang bisa menyertai mereka sehingga bisa
terus menyertai mereka dan memetik ilmu mereka dengan penuh kelembutan. Wahai
anakku, sesungguhnya hanya hikmalah yang mendudukan orang-orang miskin di
majlis-majlis para raja”.
2. Tugas hafalan sebagian ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist
عن عثمان بن عفان رضى الله عنه عن النبى صلى الله عليه وسلم قال ان افضلكم من تعلم القراّن و علمه
( هاور)
Artinya : Dari Ustman bin Affan
r.a., dari Nabi SAW,beliau bersabda : Sesungguhnya orang termulia
diantara kamu adalah orang yang belajar dan mengajarkan Al-Qur’an.(H.R.
Bukhari)[53]
Berdasarkan hadits di
atas, salah satu tugas orang tua kepada anaknya selain menanamkan kecintaan
kepada ilmu dan adab-adabnya, yaitu melatih dan membiasakan anak untuk
menghafal sebagian ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist. Menurut pemakalah dengan
membiasakannya orang tua melatih anak dengan menghafal sebagian ayat-ayat
Al-Qur’an, akan menumbuhkan dan menyuburkan keyakinan dan aqidah anak kepada
Allah SWT. Adapun pentingnya melatih dan membiasakan anak menghafal Hadist akan
menstimulus anak untuk mencintai Rosulullah dan pada akhirnya akan mengidolakan
Rosulullah dalam diri dan hidupnya sehingga dapat mencontoh akhlak Rosul dalam
kehidupan sehari-hari.
Hal ini seperti yang
dipaparkan Ibnu Sina yang dikutip oleh Muhammad Suwaid dalam kitab, As-Siyasah
mengatakan, “Jika seorang anak sudah bisa
mulai dididik dan sudah bisa memperhatikan, maka ketika itu dimulailah
pengajaran Al-Qur’an, diajarkan tentang baca tulis Al-Qur’an serta didiktekan
rambu-rambu agama.” [54]
3. Memilihkan guru dan sekolah yang baik
Secara umum pendidik
adalah orang yang memiliki tanggung jawab untuk mendidik. Sedangkan secara
khusus pendidik dalam pendidikan Islam adalah orang yang bertanggung jawab
terhadap perkembangan peserta didik dengan mengupayakan perkembangan seluruh
potensinya. Sedangkan menurut Bukhori Umar, MAg., bahwa pendidik dalam
perspektif Hadist adalah orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan
jasmani dan rohani peserta didik agar mencapai tingkat kedewasaan sehingga ia
mampu menunaikan tugas – tugas kemanusiaannya yang sesuai dengan nilai-nilai ajaran
Islam.[55]
Berdasarkan hal di atas,
seorang guru adalah cerminan bagi anak sehingga akan membekas di dalam jiwa dan
pikiran mereka dengan memberikan ajaran-ajaran dengan nilai-nilai ajaran yang
baik. Maka dari itu, kaum salaf memberikan perhatian yang sangat besar terhadap
hal itu. Sehingga mereka memberikan nasihat kepada anak-anak mereka agar
mengambil adab sebelum mengambil Ilmu.
Sebagai orang tua, kaum
salafpun memberikan perhatian penuh terhadap anak-anaknya dalam pencarian guru,
beliau mengatakan apabila harus menempuh perjalanan jauh untuk menemui seorang
guru yang shalih, maka hal tersebut harus dilakukan dengan suka hati tanpa merasa
berat. Dalam menempuh suatu perjalanan memang membutuhkan biaya yang tidak
sedikit, sama halnya ketika orang akan menuntut ilmu ia akan membutuhkan biaya
yang besar. Oleh karena itu dalam proses membina keilmuan yang sehat untuk anak-anaknya
orang tua harus mengikhlaskan baik secara materi dan non materi.
Ibnu Sina dalam kitab
As-Siyasah, mengatakan: “Seyogyanya seorang
anak itu didik oleh seorang guru yang mempunyai kecerdasan dan agama, piawai
dalam membina akhlak, cakap dalam mengatur anak, jauh dari sifat ringan tangan
(gampang memukul) dan dengki, dan tidak kasar dihadapan muridnya. Ia harus
seorang yang cerdik dan mempunyai kehormatan, kebersihan dan kesucian.”
Maka dari itu, apabila
kita sudah memilih guru yang shalih maka perlu kiranya memilih sekolah –
sekolah yang baik pula. Di zaman sekarang ini, telah banyak bermunculan sekolah
– sekolah modern yang berbasis/berkiblat pada barat sehingga banyak dari orang
tua muslim banyak yang tidak memperhatikan hal – hal tersebut. Banyak dari
generasi muslim yang bersekolah hanya sesuai dengan keinginannya yaitu
santai-santai dan bermalas-masalan, sehingga yang terjadi banyak diantara
mereka adalah hanya menuruti hawa nafsu dalam kehidupannya. Jika menempati
kedudukan yang tinggi hanya untuk memenuhi hawa nafsu dan lain sebagainya.
Menurut Syeikh Muhammad
Khadhar Husein, mengatakan :”Siapa yang
bisa menyiapkan untuk anaknya kehidupan yang baik dan menumbuhkan secara baik
pula, sehingga anak bisa tumbuh dengan hati yang sehat, lidah yang bersih, dan
jujur kepada keluarganya; akan tetapi apabila ia enggan menaruh anak di tempat
yang tidak semestinya, maka ia senantiasa menghembuskan penyimpangan dan
keburukan.”
Maka dari itu, orang tua
yang memasukan anaknya ke sekolah-sekolah yang tidak semestinya akan
merusak putra-putri kaum muslimin dalam
urusan agama mereka dan kebangsaan mereka.
4. Mengajarkan Bahasa Arab.
Bahasa Arab merupakan
kunci dari segala ilmu karena bahasa Arab merupakan bahasa al-Qur’an dan
hadits. Nabi sangat menekankan pengajaran bahasa Arab serta memperhatikan
perkembangan anak berkenaan dengan kemampuan kebahasaannya. Ini terbukti dengan
perhatian beliau yang sangat tinggi terhadap pengajaran bahasa Arab, sampai-sampai
beliau menerima tebusan dari para tawanan perang badar dalam bentuk mengajar
baca tulis bahasa Arab kepada anak-anak kaum muslimin. Setiap tawanan harus
menebus dirinya dengan mengajarkan bahasa arab kepada sepuluh anak sahabat.
Begitu pentingnya
mempelajari bahasa Arab, suatu ketika diriwayatkan Umar bin Khattab pernah
berjalan dan melewati anak-anak yang sedang latihan memanah dan mendengar
bacaan anak-anak tersebut ada yang salah hingga Umar berkata: “Demi Allah, kesalahanmu di dalam (latihan)
memanah lebih aku sukai dari pada kesalahanmu dalam berbahasa.” Maka
semenjak itu, Ali bin Abi Thalib memberikan peringatan dan menyeru para ulama
agar menggariskan kaidah-kaidah bahasa Arab dan mengajarkan kepada generasi
muda dan anak-anak agar kesalahan tersebut tidak menyebar.[56]
Abul Hasan al-Mawardi
pernah mengingatkan betapa pentingnya pengajaran bahasa Arab kepada anak dengan
mengatakan: “Jika seorang anak telah
memasuki masa belajar, maka yang pertama – tama adalah ajarkan al-Qur’an
sekalian Bahasa Arab. Sebab bahasa Arab merupakan bahasa dimana Allah
menurunkan kitab-Nya dengan menggunakan bahasa ini.”
Di samping itu menurut
Muhammad Suwaid mengatakan bahasa ini mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki
oleh bahasa – bahasa lain yaitu fasih,jelas, enak di lidah, manis di telinga,
banyak pecahan katanya, menggunakan kidah gramtikal, luas kosa katanya,
sederhana huruf-hurufnya, tidak terlalu sedikit dan tidak terlalu banyak
memetik keuntungan dan akan menjadi orang yang berharga.”.[57]
5. Mengajarkan bahasa asing
Setelah anak berhasil
mempelajari bahasa Arab dengan baik, maka diperbolehkan untuk mempelajari
bahasa asing yang dominan, agar generasi muda muslim mampu mentransfer
ilmu-ilmu umum. Dan inilah yang dilakukan Rosulullah ketika itu. Sebagaimana
yang diriwayatkan Zaid bin Tsabit mengatakan: “Rosulullah pernah berkata kepada ku apakah kamu menguasai bahasa
Suryani? Sebab ada beberapa surat yang datang
kepadaku dengan menggunakan bahasa tersebut. Aku menjawab:”Tidak” lalu
Beliau bersabda: “kalau begitu pelajarilah.”
Langkah ini juga ditempuh oleh para
salafus sholih di dalam mendidik anak-anak mereka yang mengajarkan pula bahasa
Asing dalam prose pembelajaran.
6. Membimbing anak sesuai dengan kecenderungan ilmiahnya.
Berdasarkan riwayat yang
dijelaskan di atas bahwa Zaid bin Tsabit mempunyai kemampuan yang luar biasa
dalam kebahasaan, maka beliau dipilih oleh para sahabat sebagai penterjemah
kebahasaan dalam mewujudkan keinginan Rosulullah di dalam mempelajari bahasa
Suryani.
Dari hal tersebut, maka
dalam mengarahkan anak harus sesuai dengan kecendurangan anak tersebut, dengan
demikian anak dapat mendorong anak untuk menekuni ilmu sesuai dengan keinginan
dan kemampuannya serta bisa menjadi ahli dan lebih hebat dari yang lain.
Ibnu sina juga
berpendapat demikian dan beliau mengatakan: “Tidak
setiap bidang ilmu atau keterampilan yang dipelajari anak bisa dikuasainya
dengan baik. Namun ia menekuni bidang ilmu yang sesuai dengan karakter dan
kecenderungannya”.
7. Perpsutakaan Rumah dan pengaruhnya bagi pembinaan
intelektualitas anak.
Orang tua harus
membiasakan menanamkan minat baca pada anak-anaknya sedini mungkin, karena membaca merupakan jendela ilmu. Artinya minat
baca anak itu harus mulai ditumbuhkan di lingkungan rumah dengan memfasilitasi
perpustakaan rumah, khususnya bacaan-bacaan islami, hal ini sangat berguna
untuk membina keilmuan anak-anak.
Dari sebuah riwayat
Abdullah bin salamah dari ayahnya mengatakan: “Ayahku, Badil bin Waraqo pernah
memberiku sebuah buku dengan mengatakan: “Wahai anakku ini adalah sebuah buku yang berisi hadits Rosulullah.
Maka peliharalah dengan baik-baik. Engkau akan selalu dalam kebaikan selama ia
berada di sisimu.”
Artinya ketika seorang
anak dapat mengisi dan mempergunakan waktu dengan hal-hal yang positif terutama
dengan membaca, maka seorang anak akan terhindar dari perbuatan tercela.
8. Ulama Salafus Sholih dalam menuntut ilmu ketika waktu
kecil
Dalam pemabahasan ulama
shalafus sholeh dalam menuntut ilmu ketika kecil, pemakalah akan memberikan
kisah-kisah atau gambaran tentang para ulama dalam menuntut ilmu di waktu
kecilnya.
Adapun ulama yang
termasuk salafus sholih adalah Sufyan bin Uyainah, Imam Malik bin Anas, Imam
Syafi’I, Imam Ahmad bin Hambal, Imam Abu Yusuf, Imam Muhamad bin Hasan
As-Syaibani, Imam ibnul Jauzi, Imam Ibnu Sina.
Dalam kisah mereka,
kesemuanya mempunyai ke istimewaan di waktu kecil dan sudah mempunyai kemampuan
dan bakat masing-masing yang diberikan Allah kepada mereka
D.
KESIMPULAN
Manusia itu mengalami
perkembangan, baik tubuh maupun kemampuan berpikirnya (kecerdasan
intelektualnya). Akal manusia berkembang dari tidak bisanya ia menalar menjadi
bisa ketika dewasa. Oleh karena itu, kecerdasan intelektual seseorang itu bisa
dipersiapkan dan dikembangkan. Kita harus melakukan pembinaan padanya sejak
kecil.
Adapun pembinaan yang
dilakukan diantaranya adalah :
1.
Menanamkan kecintaan kepada ilmu dan adab-adabnya
2.
Tugas hafalan sebagian ayat-ayat al-Qur’an dan hadits
3.
Memihkan guru dan sekolah yang baik
4.
Mengajarkan bahasa Arab
5.
Mengajarkan Bahasa Asing
6.
Membimbing anak sesuai dengan kecenderungan ilmiahnya
7.
Perpustakaan rumah dan pengaruhnya bagi pembinaan
intelektual anak
8.
Kisah dari ulama shalafus sholih dalam menuntut ilmu ketika
di masa kecil.
Yang kesemua itu, mudah-mudah memberikan manfaat yang luar
biasa untuk para orangtua dalam mendidik dan membina anak-anak mereka di rumah
yang pada masa sekarang penuh dengan tantangan akibat dari kemajuan zaman dan
teknologi.
DAFTAR PUSTAKA
Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Pusat bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta: Balai
Pustaka, 2007
al-Attas, Syed Naguib, Konsep Pendidikan Islam, Bandung:
Mizan, 1986
Husaini, Adian, et.al.,
Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, Jakarta: Gema Insani, 2013
Nasution, Harun, Akal dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta:
UI Press, 1982) h. 39-48
Suwaid, Muhammad, Mendidik
Anak Bersama Nabi, Solo: Pustaka Arofah, 2003
Umar, Bukhori, Hadis
Tarbawi: Pendidikan dalam Perspektif Hadis, Jakart: Amzah, 2012
http://L-hamidi.blogspot.com/2009/06/konsep-kecerdasan-intelektual-dlm.html
http://L-hamidi.blogspot.com/2009/06/konsep-kecerdasan-intelektual-dlm.html
http://www.facebook.com/komunitas
ilmiah Mahasiswa/posts/358636784231276
[2]
http://L-hamidi.blogspot.com/2009/06/konsep-kecerdasan-intelektual-dlm.html
[3]
http://L-hamidi.blogspot.com/2009/06/konsep-kecerdasan-intelektual-dlm.html
[4] Abdurrahman Saleh Abdullah, Educational Theory a Quranic
Outlook, Terj.Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an. Jakarta:
PT. Rineka
Cipta, 2007. h. 21
[5] Hadits Shahih Muslim, nomor
: 4656. Diakses
secara online melalui situshttp://id.lidwa.com/app/ . tanggal 12 Januari 2014, 16.30.
[7] Hadits Shahih Bukhari,
nomor: 4190. Diakses
secara online melalui situs http://id.lidwa.com/app/ . tanggal 11 Januari 2013, 16.45.
[11] Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jaris Ath-Thabari, Jami’u’l-bayan ‘an Ta’wil
ayatil Quran, Beirut: Darul Fikr, 1988. h. 67.
[16] Ibnu Abdillah
Muhammad bin Ahmad al-Ansari al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi, Cairo: Durusy, t.th. h. 15.
[24] Abdul Fattah
Jalal, Min al-Usuli al-Tarbawiyah fi al-Islam, Mesir: Darul
Kutub Misriyah, 1977. h.
32
[27] Al-Abrasy M.
Athiyah, At-Tarbiyah al-Islamiyah (Penerjemah: Bustami A.Goni dan Djohar
Bakry) Jakarta: Bulan Bintang. 1968. h. 32.
[29]
Pendidikan Integratif adalah pendidikan yang
tidak berdasarkan kepada metode dikotomis yang membedakan antara ilmu agama dan
ilmu umum. Al-Attas
sepakat dengan al-Ghazali yang membagi ilmu secara hirarkies, yaitu ilmufardlu ‘ain (ilmu
tentang rukun iman, rukun Islam, perbuatan haram, dan ilmu yang berkaitan
dengan amal yang akan dilakukan), dan ilmu fardlu kifayah, yang termasuk di dalamnya ilmu syariah
dan ilmu non-syariah atau umum). Lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam: Suatu Kerangka Pikir Pembinaan
Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Mizan, 1987. h. 90.
[30] Kemas
Badaruddin, Filsafat Pendidikan: Analisis Pemikiran Syed M.N. Al-Attas, Jogjakarta: Pustaka Pelajar,
2009. h. 59.
[32] Istilah ta’dib juga telah dipakai tokoh sufi sebagai
sebuah istilah untuk pendidikan pengembangan pribadi, akal dan moral. Lihat
Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam, ISLAMIA Thn I No 6, Juli-September 2005.
[33] Wan Mohd Nor
Wan Daud, Filsafat Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas (terj), Bandung: Mizan, 2003. h. 177.
[35] Hasyim
Asy’ari, Adabu al-Alim wa al-Muta’allim, Jombang:
Maktabah Turats Islamiy, 1415 H. h. 11.
[37] Filsafat sains
al-Attas secara sistematis berdasarkan pada ilmu tasawwuf dimana semua
aktifitasnya ditujukkan untuk pengabdian tinggi kepada Tuhan.Lihat Adi Setia, Special Feature on the Phylosophy of Science of Syed Muhammad
Naquib al-Attas dalam
Islam and Science Journal of Islamic Perspektif on Science Vol I December 2003
No 2. h. 172
[39] Islamic
worldview dalam pandangan al-Attas adalah pandangan Islam tentang realitas dan
kebenaran yang Nampak oleh mata hati kita dan yang menjelaskan hakekat wujud;
oleh karena apa yang dipancarkan Islam adalah wujud yang total maka worldview
Islam berarti pandangan Islam tentang wujud (ru’yaat al-Islam lil wujud). Lihat
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Prolegomena to the Metafhysics of Islam an Exposition of the
Fundamental Element of the Worldview Islam, Kuala Lumpur: ISTAC,
1995. h. 2
[40] Dikotomis
adalah pendekatan yang memisahkan objek saling berlawanan, misalnya antara jiwa
dan raga tidak ada kaitan. Pendekatan ini disebut juga dualisme
pemikiran. Pemikiran filasafat ini dipelopori tokoh-tokoh filasafat Barat
seperti Pytagoras, Plato dan Rene Descartes. Lihat Samuel Guttenplan, A Companion to the Philosophy
of Mind, Oxford: Blackwell, t.th. h. 5-7.
[43]
Ibid
[44]
Rusiadi, Metodologi Pembelagaran Agama
Islam, cet. II,
Jakarta: Sedaun, 2012. h. 13.
[46]
Ibid
[47]
Abu
Hamid Muhammad Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Terjemah
Ismail Ya’kub, Faizan, cet. VI, Semarang: Mizan, 2000. h. 65-70
[48]
Imam
Tholkhah dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan: Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi
Keilmuan Pendidikan Islam, cet. I,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004. h. 219.
[49]
Al Bukhari al-Ja'fi, Al-Bukhari,
bi Hasyiati Sanadi, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), Jilid I, h. 24 Bab Ilmu
[51] Harun
Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta: UI Press, 1982)
h. 39-48
[52]
M.Ali as-shobuni, Min
Kunuz As sunnah.(Jakarta:Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, 1999) h.128
[53]
Muhammad
Zuhri,1993.Terjemah Jawahirul Bukhori.Surabaya: Darul Ihya h.34
[54] Muhammad Suwaid, ibid. h. 321
[55][55] Bukhori Umar, M.Ag.,Hadis Tarbawi: Pendidikan dalam Perspektif
Hadis, (Jakart: Amzah, 2012) h. 68
[56] Muhammad Suwaid, ibid, h. 328
[57] Ibid.
h. 331
Tidak ada komentar:
Posting Komentar