Pages

Kamis, 06 Februari 2014

PENDIDIKAN INTELEKTUAL MENURUT AS-SUNNAH

PENDIDIKAN INTELEKTUAL MENURUT AS-SUNNAH
Oleh : NURHAYATI

A.     Mukaddimah
Manusia dibekali Allah SWT intelektual yang cerdas. Di antaranya daya ingat yang tajam, sistematika dalam berpikir dan merumuskan persoalan, menyikapi persoalan secara simpel dan lain sebagainya, seperti kemampuan umat Islam menghafal Al Qur’an dan Hadits. Keistimewaan ini karena kasih sayang Allah SWT pada orang-orang mukmin. Keimanan yang bersemayam dalam dada mukmin menghantarkan mereka memiliki kecerdasan intelektual. Rasul SAW memberikan indikator orang yang cerdas intelektualnya adalah Konsentrasi pada satu titik yang jelas, berpikir cerdas sehingga tidak mudah tertipu dan selalu dalam keadaan siap siaga. Kecerdasan intelektual juga akan memberikan jalan keluar ketika menghadapi kondisi sulit.
Manusia itu mengalami perkembangan, baik tubuh maupun kemampuan berpikirnya (kecerdasan intelektualnya). Akal manusia berkembang dari tidak bisanya ia menalar menjadi bisa ketika dewasa. Oleh karena itu, kecerdasan intelektual seseorang itu bisa dipersiapkan dan dikembangkan. Kita harus melakukan pembinaan padanya sejak kecil. Dalam Al-Qur'an dijelaskan bahwa akal manusia itu mengalami perkembangan dari tidak sempurna menjadi sempurna.
"Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu Makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan Barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia Makan harta itu menurut yang patut. kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).

Menurut para ahli, otak manusia atau kecerdasan intelektualitas itu bisa diperbaiki, begitu pula dengan kecerdasan emosi dan spiritual, bisa dibenahi hingga tua sekalipun. Karena memang kemampuan akal dan potensi itu berkembang akibat pergaulan.[1]
Pernah Imam Syafi'i ditanya: "Apakah kemampuan akal itu merupakan potensi yang dibawa sejak lahir?" Jawabnya: "Tidak, tapi akal itu adalah hasil dari pergaulan dengan banyak orang dan berdiskusi dengan mereka." Mengenai hal itu, Ibnu Sina pernah menganjurkan kepada orang tua untuk memberikan pada anaknya teman bermain, dengan perkataannya: "Hendaklah ada bersama anak-anak di mejanya anak-anak lain yang baik adabnya dan diridhai adab kebiasaannya, karena anak dengan anak itu saling mengerti, mengambil dan mengasihi." Di lain kesempatan, Imam Syafi'i pernah menganjurkan kepada barang siapa yang ingin akalnya menjadi jenius agar belajar matematika, dengan perkataannya: "Siapa yang mempelajari matematika maka jeniuslah akalnya."[2] Otak manusia tidak pernah berhenti tumbuh. Sepanjang usia manusia, sejauh ia mengisi otaknya dengan informasi-informasi baru, maka otaknya tidak akan haus dan rusak. Dan, ini senada dengan hadits Rasulullah SAW sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dalam Nawadirnya: "Gerak, gairah dan kekuatan berkumpul anak bersama teman-temannya yang lain pada masa kecilnya akan memberikan tambahan pada akalnya ketika dewasa."[3]
Kecerdasan intelektual merupakan konsep yang sangat penting dibahas dan perlu diterapkan dalam sistem pendidikan Islam. Oleh karena itu, makalah ini akan membahas tentang pendidikan intelektual menurut as-sunnah.

B.      Pengertian Pendidikan dan Intelektual
1.      Pendidikan
Konsep atau teori pendidikan mengalami sebuah perdebatan hangat bagi para pakar atau ilmuwan. Peran pendidikan yang semakin disadari pentingnya dalam melahirkan sebuah generasi tidaklah cukup tanpa disertai oleh konsep yang benar. Apabila kita menerima teori ilmiah empiris sebagai sebuah paradigma dalam teori pendidikan, maka disadari atau tidak berarti kita telah meninggalkan hal-hal yang bersifat metafisis dalam Al-Qur’an dan Hadits.[4]  Metode ilmiah dalam membangun sebuah teori harus dapat diamati oleh panca indera. Sebuah teori yang belum bisa dibuktikan secara empiris tidak bisa dijadikan dasar dalam menyusun sebuah teori termasuk didalamnya teori pendidikan. Padahal, Al-Qur’an yang diwahyukan melalui Nabi Muhammad saw, dari masa ke masa selalu berkembang pembuktian terhadap mukjizat Ilmiahnya, mulai dari masa lampau sampai masa yang akan datang.
Untuk itu menjadi hal yang sangat penting dan mendasar bagi para muslim untuk memahami konsep pendidikan menurut Al-Qur’an dan Hadits. Konsep dasar yang perlu untuk dikaji berawal dari definisi atau pengertian pendidikan yang disandarkan pada Al-Qur’an dan Hadits. Ada empat konsep dasar pendidikan Islam dalam perspektif hadits yakni tarbiyah, ta’lim, ta’dib dan tadris yang akan dibahas selanjutnya.
a.      Hadits tentang tarbiyah
 حَدَّثَنِي عَبْدُ الْأَعْلَى بْنُ حَمَّادٍ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَبِي رَافِعٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
 عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَجُلًا زَارَ أَخًا لَهُ فِي قَرْيَةٍ أُخْرَى فَأَرْصَدَ اللَّهُ لَهُ عَلَى مَدْرَجَتِهِ مَلَكًا فَلَمَّا أَتَى عَلَيْهِ قَالَ أَيْنَ تُرِيدُ قَالَ أُرِيدُ أَخًا لِي فِي هَذِهِ الْقَرْيَةِ قَالَ هَلْ لَكَ عَلَيْهِ مِنْ نِعْمَةٍ تَرُبُّهَا قَالَ لَا غَيْرَ أَنِّي أَحْبَبْتُهُ فِي اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ فَإِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكَ بِأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَبَّكَ كَمَا أَحْبَبْتَهُ فِيهِ
 قَالَ الشَّيْخُ أَبُو أَحْمَدَ أَخْبَرَنِي أَبُو بَكْرٍ مُحَمَّدُ بْنُ زَنْجُويَةَ الْقُشَيْرِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى بْنُ حَمَّادٍ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ بِهَذَا الْإِسْنَادِ نَحْوَهُ

Artinya: “Telah menceritakan kepadaku 'Abdul A'laa bin Hammad; Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Tsabit dari Abu Rafi' dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, "Pada suatu ketika ada seorang lelaki yang mengunjungi saudaranya di desa lain. Kemudian Allah pun mengutus seorang malaikat untuk menemui orang tersebut. Ketika orang itu ditengah perjalanannya ke desa yang dituju, maka malaikat tersebut bertanya; 'Hendak pergi ke mana kamu? ' Orang itu menjawab; 'Saya akan menjenguk saudara saya yang berada di desa lain.' Malaikat itu terus bertanya kepadanya; 'Apakah kamu mempunyai satu perkara yang menguntungkan dengannya? ' Laki-laki itu menjawab; 'Tidak, saya hanya mencintainya karena Allah Azza wa Jalla.' Akhirnya malaikat itu berkata; 'Sesungguhnya aku ini adalah malaikat utusan yang diutus untuk memberitahukan kepadamu bahwasanya Allah akan senantiasa mencintaimu sebagaimana kamu mencintai saudaramu karena Allah.' Berkata Syaikh Abu Ahmad; Telah mengabarkan kepadaku Abu Bakr Muhammad bin Zanjuyah Al Qusyairi; Telah menceritakan kepada kami 'Abdul A'laa bin Hammad; Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah melalui jalur ini dengan Hadits yang serupa”.[5]

b.      Hadits tentang ta’lim
حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَتَقَارَبَا فِي لَفْظِ الْحَدِيثِ قَالَا حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ حَجَّاجٍ الصَّوَّافِ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ هِلَالِ بْنِ أَبِي مَيْمُونَةَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ الْحَكَمِ السُّلَمِيِّ قَالَ
بَيْنَا أَنَا أُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ عَطَسَ رَجُلٌ مِنْ الْقَوْمِ فَقُلْتُ يَرْحَمُكَ اللَّهُ فَرَمَانِي الْقَوْمُ بِأَبْصَارِهِمْ فَقُلْتُ وَا ثُكْلَ أُمِّيَاهْ مَا شَأْنُكُمْ تَنْظُرُونَ إِلَيَّ فَجَعَلُوا يَضْرِبُونَ بِأَيْدِيهِمْ عَلَى أَفْخَاذِهِمْ فَلَمَّا رَأَيْتُهُمْ يُصَمِّتُونَنِي لَكِنِّي سَكَتُّ فَلَمَّا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبِأَبِي هُوَ وَأُمِّي مَا رَأَيْتُ مُعَلِّمًا قَبْلَهُ وَلَا بَعْدَهُ أَحْسَنَ تَعْلِيمًا مِنْهُ فَوَاللَّهِ مَا كَهَرَنِي وَلَا ضَرَبَنِي وَلَا شَتَمَنِي قَالَ إِنَّ هَذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ أَوْ كَمَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي حَدِيثُ عَهْدٍ بِجَاهِلِيَّةٍ وَقَدْ جَاءَ اللَّهُ بِالْإِسْلَامِ وَإِنَّ مِنَّا رِجَالًا يَأْتُونَ الْكُهَّانَ قَالَ فَلَا تَأْتِهِمْ قَالَ وَمِنَّا رِجَالٌ يَتَطَيَّرُونَ قَالَ ذَاكَ شَيْءٌ يَجِدُونَهُ فِي صُدُورِهِمْ فَلَا يَصُدَّنَّهُمْ قَالَ ابْنُ الصَّبَّاحِ فَلَا يَصُدَّنَّكُمْ قَالَ قُلْتُ وَمِنَّا رِجَالٌ يَخُطُّونَ قَالَ كَانَ نَبِيٌّ مِنْ الْأَنْبِيَاءِ يَخُطُّ فَمَنْ وَافَقَ خَطَّهُ فَذَاكَ قَالَ وَكَانَتْ لِي جَارِيَةٌ تَرْعَى غَنَمًا لِي قِبَلَ أُحُدٍ وَالْجَوَّانِيَّةِ فَاطَّلَعْتُ ذَاتَ يَوْمٍ فَإِذَا الذِّيبُ قَدْ ذَهَبَ بِشَاةٍ مِنْ غَنَمِهَا وَأَنَا رَجُلٌ مِنْ بَنِي آدَمَ آسَفُ كَمَا يَأْسَفُونَ لَكِنِّي صَكَكْتُهَا صَكَّةً فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَظَّمَ ذَلِكَ عَلَيَّ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا أُعْتِقُهَا قَالَ ائْتِنِي بِهَا فَأَتَيْتُهُ بِهَا فَقَالَ لَهَا أَيْنَ اللَّهُ قَالَتْ فِي السَّمَاءِ قَالَ مَنْ أَنَا قَالَتْ أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ قَالَ أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ
حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ نَحْوَهُ
 Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Abu Ja'far Muhammad bin ash-Shabbah dan Abu Bakar bin Abi Syaibah dan keduanya berdekatan dalam lafazh hadits tersebut, keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Ismail bin Ibrahim dari Hajjaj ash-Shawwaf dari Yahya bin Abi Katsir dari Hilal bin Abi Maimunah dari 'Atha' bin Yasar dari Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami dia berkata, "Ketika aku sedang shalat bersama-sama Rasulullah shallallahu 'alaihiwasallam, tiba-tiba ada seorang laki-laki dari suatu kaum bersin. Lalu aku mengucapkan, 'Yarhamukallah (semoga Allah memberi Anda rahmat) '. Maka seluruh jamaah menujukan pandangannya kepadaku." Aku berkata, "Aduh, celakalah ibuku! Mengapa Anda semua memelototiku?" Mereka bahkan menepukkan tangan mereka pada paha mereka. Setelah itu barulah aku tahu bahwa mereka menyuruhku diam. Tetapi aku telah diam. Tatkala Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam selesai shalat, Ayah dan ibuku sebagai tebusanmu (ungkapan sumpah Arab), aku belum pernah bertemu seorang pendidik sebelum dan sesudahnya yang lebih baik pengajarannya daripada beliau. Demi Allah! Beliau tidak menghardikku, tidak memukul dan tidak memakiku. Beliau bersabda, 'Sesungguhnya shalat ini, tidak pantas di dalamnya ada percakapan manusia, karena shalat itu hanyalah tasbih, takbir dan membaca al-Qur'an.' -Atau sebagaimana yang disabdakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, "Saya berkata, 'Wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, sesungguhnya aku dekat dengan masa jahiliyyah. Dan sungguh Allah telah mendatangkan agama Islam, sedangkan di antara kita ada beberapa laki-laki yang mendatangi dukun.' Beliau bersabda, 'Janganlah kamu mendatangi mereka.' Dia berkata, 'Dan di antara kita ada beberapa laki-laki yang bertathayyur (berfirasat sial).' Beliau bersabda, 'Itu adalah rasa waswas yang mereka dapatkan dalam dada mereka yang seringkali menghalangi mereka (untuk melakukan sesuatu), maka janganlah menghalang-halangi mereka. -Ibnu Shabbah berkata dengan redaksi, 'Maka jangan menghalangi kalian-." Dia berkata, "Aku berkata, 'Di antara kami adalah beberapa orang yang menuliskan garis hidup.' Beliau menjawab, 'Dahulu salah seorang nabi menuliskan garis hidup, maka barangsiapa yang bersesuaian garis hidupnya, maka itulah (yang tepat, maksudnya seorang nabi boleh menggambarkan masa yang akan datang, pent) '." Dia berkata lagi, "Dahulu saya mempunyai budak wanita yang menggembala kambing di depan gunung Uhud dan al-Jawwaniyah. Pada suatu hari aku memeriksanya, ternyata seekor serigala telah membawa seekor kambing dari gembalaannya. Aku adalah laki-laki biasa dari keturunan bani Adam yang bisa marah sebagaimana mereka juga bisa marah. Tetapi aku menamparnya sekali. Lalu aku mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, dan beliau anggap tamparan itu adalah masalah besar. Aku berkata, "(Untuk menebus kesalahanku), tidakkah lebih baik aku memerdekakannya?' Beliau bersabda, 'Bawalah dia kepadaku.' Lalu aku membawanya menghadap beliau. Lalu beliau bertanya, 'Di manakah Allah? ' Budak itu menjawab, 'Di langit.' Beliau bertanya, 'Siapakah aku?' Dia menjawab, 'Kamu adalah utusan Allah.' Beliau bersabda, 'Bebaskanlah dia, karena dia seorang wanita mukminah'." Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim telah mengabarkan kepada kami Isa bin Yunus telah menceritakan kepada kami al-Auza'i dari Yahya bin Abi Katsir dengan isnad ini hadits semisalnya”.[6]

c.       Hadits tentang ta’dib
حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْمُنْذِرِ حَدَّثَنَا أَبُو ضَمْرَةَ حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ عُقْبَةَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
أَنَّ الْيَهُودَ جَاءُوا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَجُلٍ مِنْهُمْ وَامْرَأَةٍ قَدْ زَنَيَا فَقَالَ لَهُمْ كَيْفَ تَفْعَلُونَ بِمَنْ زَنَى مِنْكُمْ قَالُوا نُحَمِّمُهُمَا وَنَضْرِبُهُمَا فَقَالَ لَا تَجِدُونَ فِي التَّوْرَاةِ الرَّجْمَ فَقَالُوا لَا نَجِدُ فِيهَا شَيْئًا فَقَالَ لَهُمْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَلَامٍ كَذَبْتُمْ فَأْتُوا بِالتَّوْرَاةِ فَاتْلُوهَا إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ فَوَضَعَ مِدْرَاسُهَا الَّذِي يُدَرِّسُهَا مِنْهُمْ كَفَّهُ عَلَى آيَةِ الرَّجْمِ فَطَفِقَ يَقْرَأُ مَا دُونَ يَدِهِ وَمَا وَرَاءَهَا وَلَا يَقْرَأُ آيَةَ الرَّجْمِ فَنَزَعَ يَدَهُ عَنْ آيَةِ الرَّجْمِ فَقَالَ مَا هَذِهِ فَلَمَّا رَأَوْا ذَلِكَ قَالُوا هِيَ آيَةُ الرَّجْمِ فَأَمَرَ بِهِمَا فَرُجِمَا قَرِيبًا مِنْ حَيْثُ مَوْضِعُ الْجَنَائِزِ عِنْدَ الْمَسْجِدِ فَرَأَيْتُ صَاحِبَهَا يَحْنِي عَلَيْهَا يَقِيهَا الْحِجَارَةَ

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Abu Ja'far Muhammad bin ash-Shabbah dan Abu Bakar bin Abi Syaibah dan keduanya berdekatan dalam lafazh hadits tersebut, keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Ismail bin Ibrahim dari Hajjaj ash-Shawwaf dari Yahya bin Abi Katsir dari Hilal bin Abi Maimunah dari 'Atha' bin Yasar dari Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami dia berkata, "Ketika aku sedang shalat bersama-sama Rasulullah shallallahu 'alaihiwasallam, tiba-tiba ada seorang laki-laki dari suatu kaum bersin. Lalu aku mengucapkan, 'Yarhamukallah (semoga Allah memberi Anda rahmat) '. Maka seluruh jamaah menujukan pandangannya kepadaku." Aku berkata, "Aduh, celakalah ibuku! Mengapa Anda semua memelototiku?" Mereka bahkan menepukkan tangan mereka pada paha mereka. Setelah itu barulah aku tahu bahwa mereka menyuruhku diam. Tetapi aku telah diam. Tatkala Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam selesai shalat, Ayah dan ibuku sebagai tebusanmu (ungkapan sumpah Arab), aku belum pernah bertemu seorang pendidik sebelum dan sesudahnya yang lebih baik pengajarannya daripada beliau. Demi Allah! Beliau tidak menghardikku, tidak memukul dan tidak memakiku. Beliau bersabda, 'Sesungguhnya shalat ini, tidak pantas di dalamnya ada percakapan manusia, karena shalat itu hanyalah tasbih, takbir dan membaca al-Qur'an.' -Atau sebagaimana yang disabdakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, "Saya berkata, 'Wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, sesungguhnya aku dekat dengan masa jahiliyyah. Dan sungguh Allah telah mendatangkan agama Islam, sedangkan di antara kita ada beberapa laki-laki yang mendatangi dukun.' Beliau bersabda, 'Janganlah kamu mendatangi mereka.' Dia berkata, 'Dan di antara kita ada beberapa laki-laki yang bertathayyur (berfirasat sial).' Beliau bersabda, 'Itu adalah rasa waswas yang mereka dapatkan dalam dada mereka yang seringkali menghalangi mereka (untuk melakukan sesuatu), maka janganlah menghalang-halangi mereka. -Ibnu Shabbah berkata dengan redaksi, 'Maka jangan menghalangi kalian-." Dia berkata, "Aku berkata, 'Di antara kami adalah beberapa orang yang menuliskan garis hidup.' Beliau menjawab, 'Dahulu salah seorang nabi menuliskan garis hidup, maka barangsiapa yang bersesuaian garis hidupnya, maka itulah (yang tepat, maksudnya seorang nabi boleh menggambarkan masa yang akan datang, pent) '." Dia berkata lagi, "Dahulu saya mempunyai budak wanita yang menggembala kambing di depan gunung Uhud dan al-Jawwaniyah. Pada suatu hari aku memeriksanya, ternyata seekor serigala telah membawa seekor kambing dari gembalaannya. Aku adalah laki-laki biasa dari keturunan bani Adam yang bisa marah sebagaimana mereka juga bisa marah. Tetapi aku menamparnya sekali. Lalu aku mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, dan beliau anggap tamparan itu adalah masalah besar. Aku berkata, "(Untuk menebus kesalahanku), tidakkah lebih baik aku memerdekakannya?' Beliau bersabda, 'Bawalah dia kepadaku.' Lalu aku membawanya menghadap beliau. Lalu beliau bertanya, 'Di manakah Allah? ' Budak itu menjawab, 'Di langit.' Beliau bertanya, 'Siapakah aku?' Dia menjawab, 'Kamu adalah utusan Allah.' Beliau bersabda, 'Bebaskanlah dia, karena dia seorang wanita mukminah'." Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim telah mengabarkan kepada kami Isa bin Yunus telah menceritakan kepada kami al-Auza'i dari Yahya bin Abi Katsir dengan isnad ini hadits semisalnya”.[7]

d.      Hadits tentang tadris
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ صَالِحٍ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّمَا رَجُلٍ كَانَتْ لَهُ جَارِيَةٌ فَأَدَّبَهَا فَأَحْسَنَ تَأْدِيبَهَا وَأَعْتَقَهَا وَتَزَوَّجَهَا فَلَهُ أَجْرَانِ وَأَيُّمَا عَبْدٍ أَدَّى حَقَّ اللَّهِ وَحَقَّ مَوَالِيهِ فَلَهُ أَجْرَانِ

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsir telah mengabarkan kepada kami Sufyan dari Shalih dari Asy-Sya'biy dari Abu Burdah dari Abu Musa Al Asy'ariy radliallahu 'anhu berkata, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Siapa saja dari seseorang yang memiliki seorang budak wanita lalu mendididiknya dengan sebaik-baik pendidikan, kemudian dibebaskannya lalu dinikahinya maka baginya mendapat dua pahala, dan siapa saja dari seorang hamba yang menunaikan hak Allah dan hak tuannya maka baginya mendapat dua pahala”.[8]

Penjelasan tarbiyah
Kata tarbiyah adalah bentuk masdar dari fi’il madhi rabba, yang mempunyai pengertian yang sama dengan kata ‘rabb’ yang berarti nama Allah. Dalam hadits tidak ditemukan kata tarbiyah, tetapi ada istilah yang senada dengan itu yaitu; ar-rabb, rabbayani, murabbi, rabbiyun, rabbani. Sebaiknya dalam hadis digunakan istilah rabbani. Semua fonem tersebut mempunyai konotasi makna yang berbeda-beda.[9]
Beberapa ahli tafsir berbeda pendapat dalam mengartikan kata-kata di atas. Sebagaimana dikutip dari Ahmad Tafsir bahwa pendidikan merupakan arti dari kata tarbiyah kata tersebut berasal dari tiga kata yaitu; rabba-yarbu yang bertambah, tumbuh, dan ‘rabbiya- yarbaa’ berarti menjadi besar, serta ‘rabba-yarubbu’ yang berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, menjaga, memelihara.[10] 
Dalam literatur-literatur berbahasa Arab kata Tarbiyah mempunyai bermacam macam definisi yang intinya sama mengacu pada proses pengembangan potensi yang dianugrahkan pada manusia. Definisi-definisi itu antara lain sebagai berikut:
a.      Tarbiyah adalah proses pengembangan dan bimbingan jasad, akal dan jiwa yang dilakukan secara berkelanjutan sehingga mutarabbi (anak didik) bisa dewasa dan mandiri untuk hidup di tengah masyarakat.[11]
b.      Tarbiyah adalah kegiatan yang disertai dengan penuh kasih sayang, kelembutan hati, perhatian bijak dan menyenangkan; tidak membosankan.[12]
c.       Tarbiyah adalah proses yang dilakukan dengan pengaturan yang bijak dan dilaksanakan secara bertahap dari yang mudah kepada yang sulit.[13]
d.      Tarbiyah adalah mendidik anak melalui penyampaian ilmu, menggunakan metode yang mudah diterima sehingga ia dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.[14]
e.      Tarbiyah adalah kegiatan yang mencakup pengembangan, pemeliharaan, penjagaan, pengurusan, penyampaian ilmu, pemberian petunjuk, bimbingan, penyempurnaan dan perasaan memiliki  terhadap anak didik.[15]
Para ahli memberikan definisi tarbiyah, bila diidentikkan dengan ‘arrab’ sebagai berikut;
1.      Menurut al-Qurtubi, bahwa; arti ar-rabb  adalah pemilik, tuan, maha memperbaiki, yang maha pengatur, yang maha mengubah, dan yang maha menunaikan.[16]
2.      Menurut Louis al-Ma’luf, ar-rabb berarti tuan, pemilik, memperbaiki, perawatan, tambah dan mengumpulkan.[17]
3.      Menurut Fahrur Razi, ar-rabb merupakan fonem yang seakar dengan al-tarbiyah, yang mempunyai arti at-tanwiyah yang berarti (pertumbuhan dan perkembangan).[18]
4.      Al-Jauhari yang dikutip oleh al-Abrasy memberi arti kata tarbiyah  dengan rabban dan rabba dengan memberi makan, memelihara dan mengasuh.[19]
Dari pandangan beberapa pakar tafsir ini maka kata dasar ar-rabb, yang mempunyai arti yang luas antara lain; memiliki, menguasai, mengatur, memelihara, memberi makan, menumbuhkan, mengembangkan dan berarti pula mendidik.
Konsep tarbiyah merupakan salah satu konsep pendidikan Islam yang penting.Kosakata yang ada dalam hadits baik dalam bentuk fi’il maupun dalam bentuk isim. Kata-kata tersebut adalah sebagai berikut[20]:
1.      Rabba, yarbu, artinya tumbuh, bertambah, berkembang.
2.      Rabbi, yarba, artinya tumbuh menjadi lebih besar, menjadi lebih dewasa.
3.      Rabba, yarubbu, artinya memperbaiki, mengatur, mengurus, mendidik.
Menurut Al-Attas, secara semantik istilah tarbiyah tidak tepat dan tidak memadai untuk membawakan konsep pendidikan dalam pengertian Islam, sebagaimana dipaparkan:[21]
1.      Istilah tarbiyah yang dipahami dalam pengertian pendidikan sebagaimana dipergunakan di masa kini tidak bisa ditemukan dalam leksikon-leksikon bahasa Arab besar.
2.      Tarbiyah dipandang sebagai pendidikan, dikembangkan dari penggunaan Al Qur’an dengan istilah raba dan rabba yang berarti sama, tidak secara alami mengandung unsur-unsur esensial pengetahuan, intelegensi dan kebajikan yang pada hakikatnya merupakan unsur-unsur pendidikan yang sebenarnya.
3.      Jika sekiranya dikatakan bahwa suatu makna yang berhubungan dengan pengetahuan disusupkan ke dalam konsep rabba, maka makna tersebut mengacu pada pemilikan pengetahuan dan bukan penanamannya.
Penjelasan tentang ta’lim
Perkataan ta’lim dipetik dari kata dasar ‘allama (عَلَّمَ), yu‘allimu يُعَلِّمُ)) dan ta’lim (تَعْلِيْم). Yu‘allimu diartikan dengan mengajarkan, untuk itu istilah ta’limditerjemahkan dengan pengajaran (instruction). M. Thalib mengatakan bahwata’lim memiliki arti memberitahukan sesuatu kepada seseorang yang belum tahu.[22]
Istilah Mu’allim atau pengajar yang berarti orang yang melakukan pengajaran, juga di munculkan dalam hadith,[23] Nabi Muhammad SAW. Bersabda:
اعملوا بطاعة الله واتقوا معاصى الله ومروا اولادكم بامتثا الاوامر واجتناب النواهى فذالك وقاية لهم ولكم من النّار
Artinya: “Ajarkanlah mereka untuk ta’at kepada Allah dan takut berbuat maksiat kepada Allah serta suruhlah anak-anak kamu untuk menaati perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan. Karena itu akan memelihara mereka dan kamu dari api neraka.
Dalam hal ini ungkapan (اعملو) diberikan kepada orang tua yang berlaku sebagai mu’allim sedangkan pelajarnya (muta’allim) atau yang diajari adalah anak-anaknya. Juga sabda beliau:
خيركم من تعلّم القرأن و علّمه
Artinya:“Sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari Al Qur’an dan mengajarkannya.
Dalam hadith ini secara lengkap disebutkan ungkapan ta’alim (تعلّم), sedangkan ilmu yang dipelajari adalah Al-Qur’an serta disebutkan pihak yang mengajarkannya.
Ta’lim secara umum hanya terbatas pada pengajaran dan pendidikan kognitif semata-mata. Hal ini memberikan pemahaman bahwa ta’lim hanya mengedepankan proses pengalihan ilmu pengetahuan dari pengajar (mu’alim) dan yang diajar (muta’alim). Ta’lim juga mewakili ungkapan proses dari tidak tahu menjadi tahu. Dari perkataan Sa’ad bin Waqash, memberi makna anak-anak yang tidak tahu tentang riwayat Rasulullah, diajarkan sehingga menjadi tahu.
Namun, istilah ta’lim dari beberapa ayat diatas menunjukkan bahwa ilmu yang bisa untuk dialihkan meliputi semua ilmu termasuk diantaranya sihir. Sehingga memang istilah tersebut lebih dekat pada pengajaran bukan pendidikan, karena pendidikan dalam pengertian Islam tentu saja harus mengarah pada manusia yang lebih baik, sesuai peran dan fungsinya didunia ini.
Apabila pendidikan Islam diidentikkan dengan ta’lim, para ahli memberikan pengertian sebagai berikut;
1.      Abdul Fattah Jalal, mendefinisikan ta’lim sebagai proses pemberian pengetahuan, pemahaman, pengertian, tanggung jawab, dan penanaman amanah, sehingga penyucian atau pembersihan manusia dari segala kotoran dan menjadikan diri manusia berada dalam kondisi yang memungkinkan untuk menerima al-hikmah serta mempelajari apa yang bermanfaat baginya dan yang tidak diketahuinya. Ta’lim menyangkut aspek pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan seseorang dalam hidup serta pedoman prilaku yang baik.Ta’lim merupakan proses yang terus menerus diusahakan semenjak dilahirkan, sebab menusia dilahirkan tidak mengetahui apa-apa, tetapi dia dibekali dengan berbagai potensi yang mempersiapkannya untuk meraih dan memahami ilmu pengetahuan serta memanfaatkanya dalam kehidupan.[24]
2.      Menurut Rasyid Ridho, ta’lim adalah proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu .Definisi ini berpijak pada firman Allah yang berbunyi:
وَعَلَّمَ ءَادَمَ الأَسْمَآءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلاَئِكَةِ فَقَالَ أَنبِئُونِي بِأَسْمَآءِ هَؤُلآءِ إِن كُنتُم صَادِقِينَ
Artinya : “Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!" (QS. Al-Baqarah: 31.)

Rasyid Ridho memahami kata ‘allama’ Allah kepada Nabi Adam as, sebagai proses tranmisi yang dilakukan secara bertahap sebagaimana Adam menyaksikan dan menganalisis asma-asma yang diajarkan Allah kepadanya.Dari penjelasan ini disimpulkan bahwa pengertian ta’lim lebih luas atau lebih umum sifatnya daripada istilah tarbiyah yang khusus berlaku pada anak-anak.Hal ini karena ta’lim mencakup fase bayi, anak-anak, remaja, dan orang dewasa, sedangkan tarbiyah, khusus pendidikan dan pengajaran fase bayi dan anak-anak.[25]
3.      Syed Muhammad an-Naquib al-Attas, mengartikan ta’lim disinonimkan dengan pengajaran tanpa adanya pengenalan secara mendasar, namun bilata’lim disinonimkan dengan tarbiyah, ta’lim mempunyai arti pengenalan tempat segala sesuatu dalam sebuah sistem.[26] Menurutnya ada hal yang membedakan antara tarbiyah dengan ta’lim, yaitu ruang lingkup ta’lim lebih umum daripada tarbiyah, karena tarbiyah tidak mencakup segi pengetahuan dan hanya mengacu pada kondisi eksistensial dan juga tarbiyah merupakan terjemahan dari bahasa latin education, yang keduanya mengacu kepada segala sesuatu yang bersifat fisik-mental, tetapi sumbernya bukan dari wahyu.
4.      Menurut Muhammad Athiyah al-Abrasy, pengertian ta’lim berbeda dengan pendapat di atas, beliau mengatakan bahwa; ta’lim lebih khusus dibandingkan dengan tarbiyah, karena ta’lim hanya merupakan upaya menyiapkan individu dengan mengacu pada aspek-aspek tertentu saja, sedangkan tarbiyah mencakup keseluruhan aspek-aspek pendidikan.[27]

Penjelasan tentang ta’dib
Menurut Naquib al-Attas pengunaan ta’dib lebih cocok untuk digunakan dalam pendidikan Islam, konsep inilah yang diajarkan oleh Rasul. Ta’dib berarti pengenalan, pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu dalam tatanan penciptaan sedimikian rupa, sehingga membimbing kearah pengenalan dan pengakuan kekuasaan dan keagungan Tuhan dalam tatanan wujud dan keberadaanya. Kata ‘addaba  yang juga berarti mendidik dan kata ta’dib yang berarti pendidikan adalah diambil dari hadits Nabi “Tuhanku telah mendidikku dan dengan demikian menjadikan pendidikanku yang terbaik”.[28]
Konsep ta’dib  yang digagas al-Attas adalah konsep pendidikan Islam yang bertujuan menciptakan manusia beradab dalam arti yang komprehensif.Pengertian konsep ini dibangun dari makna kata dasar adaba dan derivasinya. Makna addaba dan  derivasinya, bila maknanya dikaitkan  satu sama lain, akan menunjukkan pengertian pendidikan yang integratif.[29] Di antara makna-makna tersebut adalah, kesopanan, keramahan, dan kehalusan budi pekerti. Makna ini identik dengan akhlak. Adab juga secara konsisten dikaitkan dengan dunia sastra, yakni adab dijelaskan sebagai pengetahuan tentang hal-hal yang indah yang mencegah dari kesalahan-kesalahan.[30] Sehingga seorang sastrawan disebut adiib.  Makna ini hampir sama dengan definisi yang diberikan al-Jurjani, yakni ta’dib adalah proses memperoleh ilmu pengetahuan (ma’rifah) yang dipelajari untuk mencegah pelajar dari bentuk kesalahan.[31]
Kata ta’dib adalah mashdar dari addaba yang sebenarnya secara konsisten bermakna mendidik. Berkenaan  dengan hal itu, seorang guru yang mengajarkan etika dan kepribadian tersebut disebut juga mu’addib.[32] Setidaknya ada tiga derivasi dari kata addaba, yakni adiib, ta’dib, muaddib. Dari gambaran tersebut dapat dikatakan, keempat makna itu saling terikat dan berkaitan. Seorang pendidik(muaddib), adalah orang yang mengajarkan etika, kesopanan, pengembangan diri atau suatu ilmu (ma’rifah) agar anak didiknya terhindar dari kesalahan ilmu, menjadi manusia yang sempurna (insan kamil) sebagaimana dicontohkan dalam pribadi Rasulullah SAW.
            Berdasarkan hal itu, al-Attas mendefinisikan adab dari analisis semantiknya, yakni, adab adalah pengenalan dan pengakuan terhadap realita bahwasannya ilmu dan segala sesuatu yang ada terdiri dari hirearki yang sesuai dengan kategori-kategori dan tingkatan-tingkatannya, dan bahwa seseorang itu memiliki tempatnya masing-masing dalam kaitannya dengan realitas, kapasitas, potensi fisik, intelektual dan spiritual.[33] Dalam hal ini, al-Attas memberi makna adab secara lebih dalam dan komprehensif yang berkaitan dengan objek-objek tertentu yaitu pribadi manusia, ilmu, bahasa, sosial, alam dan Tuhan.[34] Beradab, adalah menerapkan adab kepada masing-masing objek tersebut dengan benar, sesuai aturan.
Pada dasarnya, konsep adab al-Attas ini adalah memperlakukan objek-objek tersebut sesuai dengan aturan, wajar dan tujuan terakhirnya adalah kedekatan spiritual kepada Tuhan. Berkenaan dengan hal ini, maka adab juga dikaitkan dengan syari’at dan Tauhid. Orang yang tidak beradab adalah orang yang tidak menjalankan syari’at dan tidak beriman (dengan sempurna).[35] Maka orang beradab menurut al-Attas adalah orang yang baik yaitu orang yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab dirinya kepada Tuhan Yang Hak, memahami dan menunaikan keadilan terhadap dirinya dan orang lain dalam masyarakat, berupaya meningkatkan setiap aspek dalam dirinya menuju kesempurnaan sebagai manusia yang beradab.[36]
Dari uraian singkat tersebut, bisa dikatakan bahwa makna beradab secara sederhana adalah, tidak berbuat dzalim. Maksudnya, orang beradab adalah orang yang menggunakan epistemologi ilmu dengan benar, menerapkan keilmuan kepada objeknya secara adil, dan mampu mengidentifikasi dan memilah pengetahuan-pengetahuan (ma’rifah) yang salah. Setelah itu, metode untuk mencapai pengetahuan itu harus juga benar sesuai kaidah Islam. Sehingga, seorang yang beradab (insan adabi) mengerti tanggung jawabnya sebagai jiwa yang pernah mengikat janji dalam Primordial Covenant dengan Allah SWT sebagai jiwa bertauhid. Apapun profesi manusia beradab, ikatan janji itu selalu ia aplikasikan dalam setiap aktifitasnya.[37] Oleh sebab itu, istilah yang paling tepat untuk pendidikan Islam menurut al-Attas adalah ta’dib bukan tarbiyah atau ta’lim. Term tarbiyah tidak menunjukkan kesesuaian makna, ia hanya menyinggung aspek fisikal dan emosional manusia. Term tarbiyah juga diapakai untuk mengajari hewan. Sedangkan ta’lim secara umum hanya terbatas pada pengajaran dan pendidikan kognitif. Akan tetapi ta’dib sudah menyangkut ta’lim (pengajaran) di dalamnya.[38] Singkatnya, konsep ta’dib mengandung makna yang lebih komprehensif dan integratif daripada tarbiyah.
Konsep ta’dib adalah konsep pendidikan Islam yang komprehensif, karena aspek-aspek ilmu dan proses pencapainya mesti dicapai dengan pendekatanatawhidy dan objek-objeknya diteropong dengan pandangan hidup Islami (worldview Islam).[39] Pendekatan tawhidy adalah pendekatan yang tidak dikotomis[40] dalam melihat realitas. Menurut al-Attas, pendidikan Islam bukanlah seperti pelatihan yang akan menghasilkan spesialis. Melainkan proses yang akan menghasilkan individu baik (insan adabi), yang akan menguasai pelbagai bidang studi secara integral dan koheren yang mencerminkan padandangan hidup Islam.[41]
Dapat disimpulkan, konsep ta’dib adalah konsep pendidikan yang bertujuan menghasilkan individu beradab, yang mampu melihat segala persoalan dengan teropong worldview Islam. Mengintegrasikan ilmu-ilmu sains dan humaniora dangan ilmu syari’ah. Sehingga apapun profesi dan keahliannya, syar’iah danworldview Islam tetap merasuk dalam dirinya sebagai parameter utama. Individu-individu yang demikian ini adalah manusia pembentuk peradaban Islam yang bermartabat. Dalam tataran praktis, konsep ini memerlukan proses Islamisasi ilmu pengetahuan terlebih dahulu. Karena, untuk mencapai tujuan utama konsep pendidikan ini, ilmu-ilmu tidak hanya perlu diintegrasikan akan tetapi, ilmu yang berparadigma sekuler harus diIslamkan basis filosofisnya. 
Penjelasan tentang tadris
Tadris adalah upaya menyiapkan murid (mutadarris) agar dapat membaca, mempelajari dan mengkaji sendiri, yang dilakukan dengan cara mudarris membacakan, menyebutkan berulang-ulang dan bergiliran, menjelaskan, mengungkap dan mendiskusikan makna yang terkandung di dalamnya sehingga mutadarris mengetahui, mengingat, memahami, serta mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari dengan tujuan mencari ridla Allah (definisi secara luas dan formal).[42]
Makna tadris (pengajaran bacaan secara berulang-ulang):[43]
1.      Tadris adalah suatu bentuk kegiaatan yang dilakukan oleh mudarris untuk membacakan dan menyebutkan sesuatu kepada mutadarris (murid) dengan berulang-ulang dan sering.
2.      Tadris bertujuan agar materi yang dibacakan atau yang disampaikan itu mudah dihafal dan diingat. Ia merupakan kegiatan pewarisan kepada murid dari para leluhurnya.
3.      Kegiatan dalam tadris tidak sekedar membacakan atau menyebutkan materi, tetapi juga disertai dengan mempelajari, mengungkap, menjelaskan, dan mendiskusikan isi dan maknanya.
4.      Tadris adalah suatu upaya menjadikan dan membelajarkan murid (mutadarris) supaya mau membaca, mempalajari, dan mengkaji sendiri.
5.      Dalam tadris, seorang murid (mutadarris) diharapkan mengetahui dan memahami benar yang disampaikan oleh mudarris (guru) serta dapat mengamalkannya di dalam kehidupan sehari-hari.
6.      Tadris dilakukan dengan niat beribadah kepada Allah SWT dan mendapat ridla-Nya.
7.      Kegiatan belajar dalam tadris bisa berlangsung dengan cara saling bergantian atau bergiliran, yaitu sebagian membacakan sebagian lainnya memperhatikan dengan saling mengorerksi, membenarkan kesalahan lafal yang dibaca sehingga terhindar dari kekeliruan dan lupa.
8.      Tadris menunjukan kegiatan yang terjadi pada diri manusia dalam arti yang umum.
Dalam tadris tersirat adanya mudarris. Mudarris berasal dari kata darasa-yadrusu-darsan-wadurusan-wadirasatan yang artinya terhapus, hilang bekasnya, menghapus, melatih, dan mempelajari.[44] Artinya guru adalah orang yang berusaha mencerdaskan peserta didiknya, menghilangkan ketidaktahuan atau memberantas kebodohan, serta melatih keterampilan peserta didik sesuai bakat dan minatnya.
Mudarris adalah orang yang memiliki kepekaan intelektual dan informasi serta memperbaharui pengetahuan dan keahliannya secara berkelanjutan, dan berusa mencerdaskan peserta didiknya, memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan, sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya.[45]
Berdasarkan hal di atas, tugas-tugas guru atau pendidik sangatlah berat, yang tidak hanya melibatkan kemampuan kognitif, tetapi juga kemampuan afektif dan psikomotorik. Profesionalisme pendidik sangat ditentukan oleh seberapa banyak tugas yang telah dilakukan, sekalipun terkadang profesionalismenya itu tidak berimplikasi yang signifikan terhadap penghargaan yang diperolehnya. [46]
Al-Ghazali menukil dari perkataan para ulama yang menyatakan bahwa pendidik merupakan pelita segala zaman, orang yang hidup semasa dengannya akan memperoleh pancaran nur keilmiahannya (‘Atha). Dan andaikala dunia tidak ada pendidik niscaya manusia seperti binatang sebab “Pendidik adalah upaya mengeluarkan manusia dari sifat kebinatangan kepada sifat insaniyah.[47]
Peran dan tanggung jawab guru dalam proses pendidikan sangat berat. Apalagi dalm konteks pendidikan Islam, dimana semua aspek kependidikan Islam terkait dengan nilai-nilai (value bound), yang meliputi guru bukan saja pada penguasaan material-pengetahuan, tetapi juga pada investasi nilai-nilai moral dan spiritual yang diembannya untuk ditransformasikan kearah pembentukan kepribadian anak didik. Sebagai komponen paling pokok dalam pendidikan Islam, guru dituntut bagaimana membimbing, melatih, dan membiasakan anak didik berperilaku yang baik. Karena itu, eksistensi guru tidak saja mengajarkan tetapi sekaligus mempraktikkan ajaran-ajaran dan nilai-nilai kependidikan Islam.[48]
Dengan pemaparan keempat konsep di atas, berdasarkan kepada hadits dapat ditarik kesimpulan bahwa keempatnya mempunyai satu tujuan dalam dunia pendidikan yaitu menghantarkan anak didik menjadi yang “seutuhnya”, sehingga mampu mengarungi kehidupan ini baik sekarang maupun yang akan datang dengan baik.

2.      Intelektual
Kecerdasan intelektual merupakan konsep yang sangat penting dibahas dan perlu diterapkan dalam sistem pendidikan Islam. Oleh karena itu, perumusan konsep dan strategi penerapannya mesti dilakukan dalam sistem pendidikan Islam guna menumbuhkan kecerdasan intelektual anak didik. 
Untuk memahami tentang intelektual maka di bawah ini akan dipaparkan hadits tentang intelektual, yaitu:
من يريد الله به خيرا يفهِّمه ,وإنما العلم بالتعلَم
"Barang siapa yang akan diberikan kebaikan oleh Allah maka ia akan diberikan pemahaman, cara untuk mendapatkan ilmu adalah dengan belajar."[49]

لا حسدَ إلا في اثنتين رجل آتاه الله مالا فسلّط على هلكته في الحق ورجل آتاه الله الحكمة فهو يقضي بها ويعلّمها
"Tidak boleh hasad (iri) kecuali dalam dua perkara, seorang yang diberikan Allah kepadanya harta dan ia menggunakannya untuk menegakkan kebenaran, dan seseorang yang diberikan Allah kepadanya hikmah (ilmu pengetahuan yang luas) dan ia menerapkan ilmu tersebut dalam kehidupannya dan mengajarkannya kepada orang lain."

Definisi intelektual berdasrkan hadits di atas,[50] Intelektual merupakan suatu kumpulan kemampuan seseorang untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan mengamalkannya dalam hubungannya dengan lingkungan dan masalah-masalah yang timbul (Gunarsa, 1991).
Dengan kata lain, Intelektual seseorang tak lepas dari akal dan otak manusia yang saling berkaitan dan diasumsikan tempatnya di kepala. Namun, menurut Harun Nasution, akal tidak persis sama dengan pengertian "otak", karena kalau otak, dalam artian fisik, maka hewan-hewan pun mempunyai otak. Akal merujuk pada daya nalar, daya pikir, dan daya kritis yang terdapat dalam jiwa manusia. Raghib al-Asfahani memberi pengertian akal sebagai energi potensial yang difungsikan manusia untuk menerima pengetahuan dan ilmu.[51]

C.      PENDIDIKAN INTELEKTUAL
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pendidikan intelektual seseorang, diantaranya yaitu:
1.      Menanamkan kecintaan kepada ilmu dan adab-adabnya.
Menanamkan cinta ilmu dan memberi  motivasi untuk belajar sejak kecil kepada anak-anak merupakan suatu keharusan bagi orang tua, karena menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap muslim, tua maupun muda, laki-laki maupun perempuan. Menuntut ilmu juga merupakan ibadah yang dapat dijadikan sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Islam sangat memperhatikan ilmu pengetahuan karena dengan ilmu manusia bisa berkarya dan berprestasi, dengan ilmu ibadah seseorang menjadi sempurna.
عن على كرمالله وجهه, ان النبى صلى الله عليه وسلم قل : أدبوا أولادكم على ثلاث خصال, حب نبيكم وحب البيته, وتلاوة القرأن وإن حملة القرأن فى ظل عرش الله لا ظل  إلا ظله مع  أن بيائه  واصغيائه ( رواه طبرنى)
Artinya : Dari Ali karromallahu wajhah,bahwa sesungguhnya nabi Muhammad SAW berkata : Didiklah anak-anak kalian semua dengan tiga perangai : Cinta Nabi kalian, Cinta keluarga nabi, dan Membaca AlQur’an, maka sesungguhnya orang yang belajar AlQur’an  berada dalam perlindungan Allah, Pada hari yang tiada pertolongan selain pertolongan Allah beserta para nabiNYA dan kekasihNYA. (H.R Ath Thobroni)[52]

Berdasarkan hadits di atas rosulullah SAW memerintahkan untuk mendidik anak-anaknya dengan tiga perangai :
1.           Cinta terhadap Nabinya, karena cinta terhadap Nabi adalah lebih utama dari pada cinta terhadap kedua orang tuanya bahkan terhadap dirinya sendiri, 
2.           Cinta kepada keluarga Nabi, karena barang siapa cinta kepada seseorang maka ia akan cinta kepada apa yang dicintai oleh seseorang tersebut dan keturunanya. 
3.           Memberikan pengajaran Al-Qur’an terhadap anak, belajar Al-Qur’an dan mengamalkanya adalah yang paling penting dan utama, karena dengan Al-Qur’an manusia menjadi umat yang paling mulya
Setelah anak-anak ini mendapatkan ilmu, perlu pula menerangkan adab-adab dari memiliki ilmu agar anak tersebut apabila menjadi pembesar tidak keluar dari kaidah-kaidah Islam dan berada di jalur yang benar. Sebagaimana Luqman berkata kepada anaknya : “Wahai anakku, masih ada sesuatu yang lain. Banyak bergaulah dengan para ulama, sesungguhnya Allah akan menghidupkan hati yang mati dengan hikmah sebagaimana ia menghidupkan (menyuburkan) tanah yang mati dengan air dari langit. Wahai anakku, janganlah engkau mempelajari ilmu karena tiga hal dan janganlah meninggalkan karena tiga hal. Janganlah engkau mempelajarinya untuk berdebat, untuk menyombongkan diri dan untuk berbuat riya’, jangalah pula meninggalkan ilmu karena malas, karena malu kepada manusia, dan karena puas (menerima) kebodohan. Wahai anakku janganlah engkau mendebat para ulama dan janganlah meremehkannya sehingga merekapun akan menolakmu. Jangan pula mendebat orang-orang bodoh sehingga mereka akan membodohimu dan dan mencacimaki dirimu. Tapi sabarkanlah dirimu dalam menghadapi orang yang di atasmu dan kepada orang yang di bawahmu. Sesungguhnya hanya orang yang bersabar kepad ulamayang bisa menyertai mereka sehingga bisa terus menyertai mereka dan memetik ilmu mereka dengan penuh kelembutan. Wahai anakku, sesungguhnya hanya hikmalah yang mendudukan orang-orang miskin di majlis-majlis para raja”.

2.      Tugas hafalan sebagian ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist

عن عثمان بن عفان رضى الله عنه عن النبى صلى الله عليه وسلم قال ان افضلكم من تعلم القراّن و علمه 
(                  هاور)
Artinya : Dari Ustman bin Affan r.a., dari Nabi SAW,beliau bersabda : Sesungguhnya orang termulia diantara kamu adalah orang yang belajar dan mengajarkan Al-Qur’an.(H.R. Bukhari)[53]

Berdasarkan hadits di atas, salah satu tugas orang tua kepada anaknya selain menanamkan kecintaan kepada ilmu dan adab-adabnya, yaitu melatih dan membiasakan anak untuk menghafal sebagian ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist. Menurut pemakalah dengan membiasakannya orang tua melatih anak dengan menghafal sebagian ayat-ayat Al-Qur’an, akan menumbuhkan dan menyuburkan keyakinan dan aqidah anak kepada Allah SWT. Adapun pentingnya melatih dan membiasakan anak menghafal Hadist akan menstimulus anak untuk mencintai Rosulullah dan pada akhirnya akan mengidolakan Rosulullah dalam diri dan hidupnya sehingga dapat mencontoh akhlak Rosul dalam kehidupan sehari-hari.
Hal ini seperti yang dipaparkan Ibnu Sina yang dikutip oleh Muhammad Suwaid dalam kitab, As-Siyasah mengatakan, “Jika seorang anak sudah bisa mulai dididik dan sudah bisa memperhatikan, maka ketika itu dimulailah pengajaran Al-Qur’an, diajarkan tentang baca tulis Al-Qur’an serta didiktekan rambu-rambu agama.” [54]

3.      Memilihkan guru dan sekolah yang baik
Secara umum pendidik adalah orang yang memiliki tanggung jawab untuk mendidik. Sedangkan secara khusus pendidik dalam pendidikan Islam adalah orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensinya. Sedangkan menurut Bukhori Umar, MAg., bahwa pendidik dalam perspektif Hadist adalah orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik agar mencapai tingkat kedewasaan sehingga ia mampu menunaikan tugas – tugas kemanusiaannya yang sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.[55]
Berdasarkan hal di atas, seorang guru adalah cerminan bagi anak sehingga akan membekas di dalam jiwa dan pikiran mereka dengan memberikan ajaran-ajaran dengan nilai-nilai ajaran yang baik. Maka dari itu, kaum salaf memberikan perhatian yang sangat besar terhadap hal itu. Sehingga mereka memberikan nasihat kepada anak-anak mereka agar mengambil adab sebelum mengambil Ilmu.
Sebagai orang tua, kaum salafpun memberikan perhatian penuh terhadap anak-anaknya dalam pencarian guru, beliau mengatakan apabila harus menempuh perjalanan jauh untuk menemui seorang guru yang shalih, maka hal tersebut harus dilakukan dengan suka hati tanpa merasa berat. Dalam menempuh suatu perjalanan memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit, sama halnya ketika orang akan menuntut ilmu ia akan membutuhkan biaya yang besar. Oleh karena itu dalam proses  membina keilmuan yang sehat untuk anak-anaknya orang tua harus mengikhlaskan baik secara materi dan non materi.
Ibnu Sina dalam kitab As-Siyasah, mengatakan: “Seyogyanya seorang anak itu didik oleh seorang guru yang mempunyai kecerdasan dan agama, piawai dalam membina akhlak, cakap dalam mengatur anak, jauh dari sifat ringan tangan (gampang memukul) dan dengki, dan tidak kasar dihadapan muridnya. Ia harus seorang yang cerdik dan mempunyai kehormatan, kebersihan dan kesucian.”
Maka dari itu, apabila kita sudah memilih guru yang shalih maka perlu kiranya memilih sekolah – sekolah yang baik pula. Di zaman sekarang ini, telah banyak bermunculan sekolah – sekolah modern yang berbasis/berkiblat pada barat sehingga banyak dari orang tua muslim banyak yang tidak memperhatikan hal – hal tersebut. Banyak dari generasi muslim yang bersekolah hanya sesuai dengan keinginannya yaitu santai-santai dan bermalas-masalan, sehingga yang terjadi banyak diantara mereka adalah hanya menuruti hawa nafsu dalam kehidupannya. Jika menempati kedudukan yang tinggi hanya untuk memenuhi hawa nafsu dan lain sebagainya.
Menurut Syeikh Muhammad Khadhar Husein, mengatakan :”Siapa yang bisa menyiapkan untuk anaknya kehidupan yang baik dan menumbuhkan secara baik pula, sehingga anak bisa tumbuh dengan hati yang sehat, lidah yang bersih, dan jujur kepada keluarganya; akan tetapi apabila ia enggan menaruh anak di tempat yang tidak semestinya, maka ia senantiasa menghembuskan penyimpangan dan keburukan.”
Maka dari itu, orang tua yang memasukan anaknya ke sekolah-sekolah yang tidak semestinya akan merusak  putra-putri kaum muslimin dalam urusan agama mereka dan kebangsaan mereka.

4.      Mengajarkan Bahasa Arab.
Bahasa Arab merupakan kunci dari segala ilmu karena bahasa Arab merupakan bahasa al-Qur’an dan hadits. Nabi sangat menekankan pengajaran bahasa Arab serta memperhatikan perkembangan anak berkenaan dengan kemampuan kebahasaannya. Ini terbukti dengan perhatian beliau yang sangat tinggi terhadap pengajaran bahasa Arab, sampai-sampai beliau menerima tebusan dari para tawanan perang badar dalam bentuk mengajar baca tulis bahasa Arab kepada anak-anak kaum muslimin. Setiap tawanan harus menebus dirinya dengan mengajarkan bahasa arab kepada sepuluh anak sahabat.
Begitu pentingnya mempelajari bahasa Arab, suatu ketika diriwayatkan Umar bin Khattab pernah berjalan dan melewati anak-anak yang sedang latihan memanah dan mendengar bacaan anak-anak tersebut ada yang salah hingga Umar berkata: “Demi Allah, kesalahanmu di dalam (latihan) memanah lebih aku sukai dari pada kesalahanmu dalam berbahasa.” Maka semenjak itu, Ali bin Abi Thalib memberikan peringatan dan menyeru para ulama agar menggariskan kaidah-kaidah bahasa Arab dan mengajarkan kepada generasi muda dan anak-anak agar kesalahan tersebut tidak menyebar.[56]
Abul Hasan al-Mawardi pernah mengingatkan betapa pentingnya pengajaran bahasa Arab kepada anak dengan mengatakan: “Jika seorang anak telah memasuki masa belajar, maka yang pertama – tama adalah ajarkan al-Qur’an sekalian Bahasa Arab. Sebab bahasa Arab merupakan bahasa dimana Allah menurunkan kitab-Nya dengan menggunakan bahasa ini.”
Di samping itu menurut Muhammad Suwaid mengatakan bahasa ini mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki oleh bahasa – bahasa lain yaitu fasih,jelas, enak di lidah, manis di telinga, banyak pecahan katanya, menggunakan kidah gramtikal, luas kosa katanya, sederhana huruf-hurufnya, tidak terlalu sedikit dan tidak terlalu banyak memetik keuntungan dan akan menjadi orang yang berharga.”.[57]

5.      Mengajarkan bahasa asing
Setelah anak berhasil mempelajari bahasa Arab dengan baik, maka diperbolehkan untuk mempelajari bahasa asing yang dominan, agar generasi muda muslim mampu mentransfer ilmu-ilmu umum. Dan inilah yang dilakukan Rosulullah ketika itu. Sebagaimana yang diriwayatkan Zaid bin Tsabit mengatakan: “Rosulullah pernah berkata kepada ku apakah kamu menguasai bahasa Suryani? Sebab ada beberapa surat yang datang  kepadaku dengan menggunakan bahasa tersebut. Aku menjawab:”Tidak” lalu Beliau bersabda: “kalau begitu pelajarilah.”
Langkah ini juga ditempuh oleh para salafus sholih di dalam mendidik anak-anak mereka yang mengajarkan pula bahasa Asing dalam prose pembelajaran.

6.      Membimbing anak sesuai dengan kecenderungan ilmiahnya.
Berdasarkan riwayat yang dijelaskan di atas bahwa Zaid bin Tsabit mempunyai kemampuan yang luar biasa dalam kebahasaan, maka beliau dipilih oleh para sahabat sebagai penterjemah kebahasaan dalam mewujudkan keinginan Rosulullah di dalam mempelajari bahasa Suryani.
Dari hal tersebut, maka dalam mengarahkan anak harus sesuai dengan kecendurangan anak tersebut, dengan demikian anak dapat mendorong anak untuk menekuni ilmu sesuai dengan keinginan dan kemampuannya serta bisa menjadi ahli dan lebih hebat dari yang lain.
Ibnu sina juga berpendapat demikian dan beliau mengatakan: “Tidak setiap bidang ilmu atau keterampilan yang dipelajari anak bisa dikuasainya dengan baik. Namun ia menekuni bidang ilmu yang sesuai dengan karakter dan kecenderungannya”.

7.      Perpsutakaan Rumah dan pengaruhnya bagi pembinaan intelektualitas anak.
Orang tua harus membiasakan menanamkan minat baca pada anak-anaknya sedini mungkin, karena  membaca merupakan jendela ilmu. Artinya minat baca anak itu harus mulai ditumbuhkan di lingkungan rumah dengan memfasilitasi perpustakaan rumah, khususnya bacaan-bacaan islami, hal ini sangat berguna untuk membina keilmuan anak-anak.  

Dari sebuah riwayat Abdullah bin salamah dari ayahnya mengatakan: “Ayahku, Badil bin Waraqo  pernah memberiku sebuah buku dengan mengatakan: “Wahai anakku ini adalah sebuah buku yang berisi hadits Rosulullah. Maka peliharalah dengan baik-baik. Engkau akan selalu dalam kebaikan selama ia berada di sisimu.”
Artinya ketika seorang anak dapat mengisi dan mempergunakan waktu dengan hal-hal yang positif terutama dengan membaca, maka seorang anak akan terhindar dari perbuatan tercela.
8.      Ulama Salafus Sholih dalam menuntut ilmu ketika waktu kecil
Dalam pemabahasan ulama shalafus sholeh dalam menuntut ilmu ketika kecil, pemakalah akan memberikan kisah-kisah atau gambaran tentang para ulama dalam menuntut ilmu di waktu kecilnya.
Adapun ulama yang termasuk salafus sholih adalah Sufyan bin Uyainah, Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’I, Imam Ahmad bin Hambal, Imam Abu Yusuf, Imam Muhamad bin Hasan As-Syaibani, Imam ibnul Jauzi, Imam Ibnu Sina.
Dalam kisah mereka, kesemuanya mempunyai ke istimewaan di waktu kecil dan sudah mempunyai kemampuan dan bakat masing-masing yang diberikan Allah kepada mereka
D.     KESIMPULAN
Manusia itu mengalami perkembangan, baik tubuh maupun kemampuan berpikirnya (kecerdasan intelektualnya). Akal manusia berkembang dari tidak bisanya ia menalar menjadi bisa ketika dewasa. Oleh karena itu, kecerdasan intelektual seseorang itu bisa dipersiapkan dan dikembangkan. Kita harus melakukan pembinaan padanya sejak kecil.
Adapun pembinaan yang dilakukan diantaranya adalah :
1.      Menanamkan kecintaan kepada ilmu dan adab-adabnya
2.      Tugas hafalan sebagian ayat-ayat al-Qur’an dan hadits
3.      Memihkan guru dan sekolah yang baik
4.      Mengajarkan bahasa Arab
5.      Mengajarkan Bahasa Asing
6.      Membimbing anak sesuai dengan kecenderungan ilmiahnya
7.      Perpustakaan rumah dan pengaruhnya bagi pembinaan intelektual anak
8.      Kisah dari ulama shalafus sholih dalam menuntut ilmu ketika di masa kecil.
Yang kesemua itu, mudah-mudah memberikan manfaat yang luar biasa untuk para orangtua dalam mendidik dan membina anak-anak mereka di rumah yang pada masa sekarang penuh dengan tantangan akibat dari kemajuan zaman dan teknologi.




DAFTAR PUSTAKA
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta: Balai Pustaka, 2007
al-Attas, Syed Naguib, Konsep Pendidikan Islam, Bandung: Mizan, 1986
Husaini, Adian, et.al., Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, Jakarta: Gema Insani, 2013
Nasution, Harun,  Akal dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta: UI Press, 1982) h. 39-48
Suwaid, Muhammad, Mendidik Anak Bersama Nabi, Solo: Pustaka Arofah, 2003
Umar, Bukhori, Hadis Tarbawi: Pendidikan dalam Perspektif Hadis, Jakart: Amzah, 2012

http://L-hamidi.blogspot.com/2009/06/konsep-kecerdasan-intelektual-dlm.html
http://L-hamidi.blogspot.com/2009/06/konsep-kecerdasan-intelektual-dlm.html
http://www.facebook.com/komunitas ilmiah Mahasiswa/posts/358636784231276



[1] Syed Naguib al-Attas, Konsep Pendidikan Islam (Bandung: Mizan, 1986), h. 33
[2] http://L-hamidi.blogspot.com/2009/06/konsep-kecerdasan-intelektual-dlm.html
[3] http://L-hamidi.blogspot.com/2009/06/konsep-kecerdasan-intelektual-dlm.html
[4] Abdurrahman Saleh Abdullah, Educational Theory a Quranic Outlook, Terj.Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2007. h. 21
[5] Hadits Shahih Muslim, nomor : 4656. Diakses secara online melalui situshttp://id.lidwa.com/app/ . tanggal 12 Januari 2014, 16.30.
[6] Ibid. nomor: 836.
[7] Hadits Shahih Bukhari, nomor: 4190. Diakses secara online melalui situs http://id.lidwa.com/app/ . tanggal 11 Januari 2013, 16.45.
[8] Ibid. nomor: 2361.
[9] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam.Bandung: Mizan, 1988. h. 12.
[10] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Rosda Karya, 1992. h. 5.
[11] Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jaris Ath-Thabari, Jami’u’l-bayan ‘an Ta’wil ayatil Quran, Beirut: Darul Fikr, 1988. h. 67.
[12] Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsirul Maraghiy,  juz. V, Beirut: Darul Fikr, 1871. h. 34.
[13]  Rohimin, Titi Saodah, Agus Salam, Hakikat Pendidikan. Tidak diterbitkan. h. 4
[14] Al Imam Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari…. h. 162.
[15] Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsirul Maraghiy,  juz. III…. h. 97.
[16] Ibnu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Ansari al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi, Cairo: Durusy, t.th. h. 15.
[17] Louis Ma’luf, Al-Munjid fi Lughah, Beirut: Dar al-Masyriq, 1960. h. 6
[18] Fathur Razi,  Tafsir Fathur Razi, Teheran: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th. h. 12.
[19] Zuhairini,  Metodik pendidikan Islam, Malang: IAIN Tarbiyah Sunan Ampel Press, 1950. h. 17.
[20] Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab, Mesir: Dar al-Misriyah, t.th. h. 145
[21] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan.... h. 65.
[22] M. Thalib, Pendidikan Islam Metode 30 T, Bandung: Irsyad Baitus Salam, 1996. h. 16
[23] Diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Darimi dari Abu Umamah Al Bahili r.a
[24] Abdul Fattah Jalal, Min al-Usuli al-Tarbawiyah fi al-Islam, Mesir: Darul Kutub Misriyah, 1977. h. 32
[25] Rasyid Ridho, Tafsir al-Manar, Mesir: Dar al-Manar, 1373 H. h. 42.
[26] Syed Muhammad Naquib al-Attas,  Konsep Pendidikan.... h. 17
[27] Al-Abrasy M. Athiyah,  At-Tarbiyah al-Islamiyah (Penerjemah: Bustami A.Goni dan Djohar Bakry) Jakarta: Bulan Bintang. 1968. h. 32.
[28] Ibid., h. 19
[29]  Pendidikan Integratif adalah pendidikan yang tidak berdasarkan kepada metode dikotomis yang membedakan antara ilmu agama dan ilmu umum. Al-Attas sepakat dengan al-Ghazali yang membagi ilmu secara hirarkies, yaitu ilmufardlu ‘ain (ilmu tentang rukun iman, rukun Islam, perbuatan haram, dan ilmu yang berkaitan dengan amal yang akan dilakukan), dan ilmu fardlu kifayah, yang termasuk di dalamnya ilmu syariah dan ilmu non-syariah atau umum). Lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam: Suatu Kerangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Mizan, 1987. h. 90.
[30] Kemas Badaruddin, Filsafat Pendidikan: Analisis Pemikiran Syed M.N. Al-Attas, Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2009. h. 59.
[31] Syarif al-Jurjani, Kitab Ta’rifaat, Beirut: Maktabah Lubnaniyah, 1995. h. 10.
[32] Istilah ta’dib juga telah dipakai tokoh sufi sebagai sebuah istilah untuk pendidikan pengembangan pribadi, akal dan moral. Lihat Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam, ISLAMIA Thn I No 6, Juli-September 2005.
[33] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas (terj), Bandung: Mizan, 2003. h. 177.
[34] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Risalah Untuk Kaum Muslimin, Kuala Lumpur: ISTAC, 2001. h. 47
[35] Hasyim Asy’ari, Adabu al-Alim wa al-Muta’allim, Jombang: Maktabah Turats Islamiy, 1415 H. h. 11.
[36] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat Praktik……, h. 174
[37] Filsafat sains al-Attas secara sistematis berdasarkan pada ilmu tasawwuf dimana semua aktifitasnya ditujukkan untuk pengabdian tinggi kepada Tuhan.Lihat Adi Setia, Special Feature on the Phylosophy of Science of Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam Islam and Science Journal of Islamic Perspektif on Science Vol I December 2003 No 2. h. 172
[38] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat Praktik……, h. 180
[39] Islamic worldview dalam pandangan al-Attas adalah pandangan Islam tentang realitas dan kebenaran yang Nampak oleh mata hati kita dan yang menjelaskan hakekat wujud; oleh karena apa yang dipancarkan Islam adalah wujud yang total maka worldview Islam berarti pandangan Islam tentang wujud (ru’yaat al-Islam lil wujud). Lihat Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Prolegomena to the Metafhysics of Islam an Exposition of the Fundamental Element of the Worldview Islam, Kuala Lumpur: ISTAC, 1995. h. 2
[40] Dikotomis adalah pendekatan yang memisahkan objek saling berlawanan, misalnya antara jiwa dan raga tidak ada kaitan. Pendekatan ini disebut juga dualisme pemikiran. Pemikiran filasafat ini dipelopori tokoh-tokoh filasafat Barat seperti Pytagoras, Plato dan Rene Descartes. Lihat Samuel Guttenplan, A Companion to the Philosophy of Mind, Oxford: Blackwell, t.th. h. 5-7.
[41] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat Praktik……, h. 186.
[42] Wan Mohd Nor Wan Daud, Ibid.
[43] Ibid
[44] Rusiadi, Metodologi Pembelagaran Agama Islam, cet. II, Jakarta: Sedaun, 2012. h. 13.
[45] Yayan Ridwan, Ilmu Pendidikan Islam, cet. I, Jakarta: Sedaun, 2011. h.65
[46] Ibid
[47] Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali,  Ihya’ Ulumuddin, Terjemah Ismail Ya’kub,  Faizan, cet. VI, Semarang: Mizan, 2000. h. 65-70
[48] Imam Tholkhah dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan: Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam, cet. I, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004. h. 219.
[49] Al Bukhari al-Ja'fi, Al-Bukhari, bi Hasyiati Sanadi, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), Jilid I, h. 24 Bab Ilmu
[50] http://www.facebook.com/komunitas ilmiah Mahasiswa/posts/358636784231276
[51] Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta: UI Press, 1982) h. 39-48
[52] M.Ali as-shobuni, Min Kunuz As sunnah.(Jakarta:Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, 1999) h.128
[53] Muhammad Zuhri,1993.Terjemah Jawahirul Bukhori.Surabaya: Darul Ihya h.34
[54] Muhammad Suwaid, ibid. h. 321
[55][55] Bukhori Umar, M.Ag.,Hadis Tarbawi: Pendidikan dalam Perspektif Hadis, (Jakart: Amzah, 2012) h. 68
[56] Muhammad Suwaid, ibid, h. 328
[57] Ibid. h. 331

Tidak ada komentar:

Posting Komentar